Senin, 21 Desember 2015

Sampah #1

S A M P A H #1

Sampah.

Begitu mendengar atau membaca kata ini, apa yang terlintas di benakmu? Mungkin jawabannya hampir mirip atau senada.
“Kotor.
Bau.
Pengen muntah.
Mengganggu pemandangan.
Bikin banjir.”
Dan lain lain komentar tidak sedap tentang sampah.

Taaapiii, sadarkah kamu, bahwa setiap manusia di dunia ini, tidak terkecuali kamu, setiap hari menghasilkan sampah.

Selepas shalat Subuh, emak kita turun ke dapur, masak sarapan pagi, misalkan nasi plus ceplok telur: satu jenis sampah yaitu cangkang telur dibuang. Lalu di lain tempat, bapak-bapak yang tidak sempat sarapan karena harus kejar kereta pagi, sarapan pagi nasi kuning di dekat kantor, dibungkus dengan kertas nasi atau stereofoam plus satu sendok plastik tambah satu gelas aqua:  tambah tiga jenis sampah. Siang si eneng jajan rujak di si abang2, dibungkus dengan mika plastic plus keresek hitam:  dua jenis sampah lagi dibuang.
Nah kan, baru sampai jam makan siang, sudah 7 sampah dibuang, dari satu atau dua individu.

Coba kita hitung untuk satu keluarga, hitung lagi untuk satu RT, RW, kelurahan, sampe satu kota. Ada berapa ton sampah tuh yang dihasilkan? Pernahkah kita bayangkan?

Warga suatu kota yang berpenduduk sekitar 1 juta orang kita asumsikan menghasilkan sampah sebanyak 1700 m3/hari. Jika 1 truk pengangkut sampah bisa memuat 5 m3 sampah, maka itu kira-kira setara dengan 350 truk. Pernahkah kamu bayangkan 350 truk hilir mudik setiap hari mengangkut sampah dari rumah kita ke TPA?

TPA? Nah apa lagi itu yaa?
TPA adalah singkatan dari Tempat Pembuangan Akhir. Fasilitas ini merupakan suatu tempat milik pemerintah yang berfungsi sebagai tempat pembuangan dan pengolahan akhir sampah di suatu kota atau daerah. Pada umumnya mengambil lokasi di pinggir (periphery) kota, untuk meminimalkan dampak negatif yang bisa dirasakan oleh warga, seperti bau, potensi pencemaran air dan tanah, dan lain-lain.

Namun, perlu disadari bahwa kapasitas TPA itu terbatas. Seperti sebuah mangkuk yang kita isi sesuatu, misalnya beras. Kita tidak bisa mengisinya terus menerus tentunya mangkuk itu suatu saat akan penuh dan beras yang kita isikan tumpah dan luber. Begitu juga kapasitas TPA, suatu saat pasti penuh dan perlu perluasan atau lokasi baru.

Suatu kota berkembang, jumlah penduduknya juga bertambah. Maka akan semakin meningkat pula sampah yang dihasilkan. Berarti semakin lama, semakin banyak juga sampah yang harus diangkut lalu dibuang ke TPA. Sementara kapasitas TPA terbatas. Tidak mudah pula untuk mencari lokasi baru.

Kenapa?
Dalam pengelolaan sampah, dikenal fenomena NIMBY: Not In My Backyard. (Singkatan itu lebih tepat NIMB mungkin yaa.. ) Rata-rata orang: kamu, saya, atau siapapun itu, rata-rata tidak ingin ada tempat pembuangan sampah di sekitar halaman belakang (baca: lingkungan) kita. Karena kita khawatir terkena dampak negatifnya.

Jadi, apa ya yang bisa kita lakukan?

Buang sampah pada tempatnya itu betul dan baik. Sehingga para petugas kebersihan tidak kesulitan mengangkut sampah. Jalan dan saluran relatif bersih dari sampah. Dan lain-lain. Tapi itu tidak mengurangi volume sampah yang harus diangkut ke TPA.

Jadi, apa dong?
Kurangi sampah dari sumbernya, dari rumah kita masing-masing.
Ah ribet banget sih. Boro-boro. Mana ada waktu, udaah repot sama kerjaan kantor. Udah repot urus dapur.

Jika seluruh penduduk kota berfikir hal yang sama, maka masih banyak sampah di sungai di jalan dan tempat-tempat umum lainnya, masih banyak potensi banjir, masih banyak pencemaran air dan tanah akibat sampah.

Biarin aja, itu kan urusan pemerintah. Kita mah warga biasa.

Hmm… kira-kira tega ga yaa jika anak cucu kita nanti makin sulit dapet air bersih? makin banyak kena penyakit diare?.. Kalo saya pribadi sih ga tega, suwer. Pengen rasanya wariskan lingkungan yang bersih atau lebih bersih dari sekarang.

Nah, mulai berfikir kaan? Mulai merenung..

Lalu gimana ya cara kita kurangi sampah dari rumah kita yang ga pake ribet itu?

Tunggu yaa episode berikutnya dari tulisan ini…

*sengaja
*supaya penasaran

*ketawajahil.

------