S A M P A H #1
Sampah.
Begitu
mendengar atau membaca kata ini, apa yang terlintas di benakmu? Mungkin jawabannya hampir mirip atau senada.
“Kotor.
Bau.
Pengen muntah.
Mengganggu pemandangan.
Bikin banjir.”
Dan lain lain komentar tidak sedap tentang sampah.
Taaapiii, sadarkah
kamu, bahwa setiap manusia di dunia ini, tidak terkecuali kamu, setiap hari
menghasilkan sampah.
Selepas
shalat Subuh, emak kita turun ke dapur, masak sarapan pagi, misalkan nasi plus
ceplok telur: satu jenis sampah yaitu cangkang telur dibuang. Lalu di lain tempat, bapak-bapak yang
tidak sempat sarapan karena harus kejar kereta pagi, sarapan pagi nasi kuning
di dekat kantor, dibungkus dengan kertas nasi atau stereofoam plus satu sendok plastik tambah satu gelas aqua: tambah tiga
jenis sampah. Siang si eneng jajan rujak di si abang2, dibungkus dengan mika plastic
plus keresek hitam: dua jenis sampah
lagi dibuang.
Nah kan, baru sampai
jam makan siang, sudah 7 sampah dibuang, dari satu atau dua individu.
Coba kita
hitung untuk satu keluarga, hitung lagi untuk satu RT, RW, kelurahan, sampe
satu kota. Ada berapa ton sampah tuh yang dihasilkan? Pernahkah kita bayangkan?
Warga suatu kota
yang berpenduduk sekitar 1 juta orang kita
asumsikan menghasilkan
sampah sebanyak 1700 m3/hari. Jika 1 truk pengangkut sampah bisa memuat 5 m3 sampah, maka itu kira-kira
setara dengan 350 truk. Pernahkah kamu bayangkan 350 truk hilir mudik setiap hari mengangkut sampah dari rumah kita ke TPA?
TPA? Nah
apa lagi itu yaa?
TPA adalah
singkatan dari Tempat Pembuangan Akhir. Fasilitas ini merupakan suatu tempat
milik pemerintah yang berfungsi sebagai tempat pembuangan dan pengolahan akhir
sampah di suatu kota atau daerah. Pada umumnya mengambil lokasi di pinggir (periphery) kota, untuk meminimalkan
dampak negatif yang bisa dirasakan oleh warga, seperti bau, potensi pencemaran
air dan tanah, dan lain-lain.
Namun,
perlu disadari bahwa kapasitas TPA itu terbatas. Seperti sebuah
mangkuk yang kita isi sesuatu, misalnya beras. Kita tidak bisa mengisinya terus
menerus tentunya mangkuk itu suatu saat akan penuh dan beras yang kita isikan
tumpah dan luber. Begitu juga kapasitas TPA, suatu saat pasti penuh dan perlu perluasan atau lokasi baru.
Suatu kota
berkembang, jumlah penduduknya juga bertambah. Maka akan semakin meningkat pula sampah yang dihasilkan. Berarti semakin
lama, semakin banyak juga sampah yang harus diangkut lalu dibuang ke TPA. Sementara
kapasitas TPA terbatas. Tidak mudah pula untuk mencari lokasi baru.
Kenapa?
Dalam
pengelolaan sampah, dikenal fenomena NIMBY: Not In My Backyard. (Singkatan itu
lebih tepat NIMB mungkin yaa.. ) Rata-rata orang: kamu, saya, atau siapapun
itu, rata-rata tidak ingin ada tempat pembuangan sampah di sekitar halaman belakang
(baca: lingkungan) kita. Karena kita khawatir terkena dampak negatifnya.
Jadi, apa
ya yang bisa kita lakukan?
Buang
sampah pada tempatnya itu betul dan baik. Sehingga para petugas kebersihan
tidak kesulitan mengangkut sampah. Jalan dan saluran relatif bersih dari
sampah. Dan lain-lain. Tapi itu tidak mengurangi volume sampah yang harus
diangkut ke TPA.
Jadi, apa
dong?
Kurangi
sampah dari sumbernya, dari rumah kita masing-masing.
Ah ribet
banget sih. Boro-boro. Mana ada waktu, udaah repot sama kerjaan kantor. Udah
repot urus dapur.
Jika
seluruh penduduk kota berfikir hal yang sama, maka masih banyak sampah di
sungai di jalan dan tempat-tempat umum lainnya, masih banyak potensi banjir,
masih banyak pencemaran air dan tanah akibat sampah.
Biarin aja,
itu kan urusan pemerintah. Kita mah warga biasa.
Hmm…
kira-kira tega ga yaa jika anak cucu kita nanti makin sulit dapet air bersih?
makin banyak kena penyakit diare?.. Kalo saya pribadi sih ga tega, suwer.
Pengen rasanya wariskan lingkungan yang bersih atau lebih bersih dari sekarang.
Nah, mulai
berfikir kaan? Mulai merenung..
Lalu
gimana ya cara kita kurangi sampah dari rumah kita yang ga pake ribet itu?
Tunggu yaa
episode berikutnya dari tulisan ini…
*sengaja
*supaya
penasaran
*ketawajahil.
------