Sekar tergagap.
Kembali si boss pergoki dia tengah melamun di depan komputer. Tugas yang
mestinya selesai pagi tadi, siang ini masih belum tuntas juga. Duh malu
rasanya. Ini kali kesekian, dia sulit berkonsentrasi di kantor. Ingatannya
selalu melayang ke masalah rumah tangganya.
Menjelang dua
puluh tahun usia pernikahannya, namun mereka tengah dihadapkan pada masalah
yang cukup pelik, dan Sekar hampir-hampir menyerah.
Semua
bermula ketika tahun lalu, perusahaan tempat suaminya bekerja tiba-tiba colaps
dan terjadi PHK besar-besaran. Suaminya, Ardi, termasuk yang kena PHK.
Pesangonnya sih lumayan, tapi ternyata merka tidak siap dengan perubahan
kondisi yang drastis itu. Maka pelan-pelan, pesangon itu terpakai buat berbagai
kebutuhan.
Posisi Sekar
di kantor pun masih staf biasa. Penghasilannya tidak cukup buat biayai keluarga
dengan tiga anak yang pas masanya sedang banyak kebutuhan sekolah. Nabil si
sulung tahun lalu kuliah, Sekar bersyukur Nabil bisa diterima di sekolah
negeri, sehingga tidak terlalu berat biaya masuknya. Tapi tetap bulanan, Sekar
harus putar otak supaya bisa mengatur kiriman rutin buat kost Nabil tetap ada.
Ardi yang
berusaha mencari peluang kerja lain, sampai sekarang belum berhasil. Dan entah
kenapa, dua bulan terakhir ini mentalnya makin jatuh. Motivasinya sudah tidak
ada atau bahkan nyaris nol.
Dan ujungnya
semua Sekar yang harus tanggung bebannya.
Sudah
berkali-kali, Sekar mengajak Ardi ngobrol serius tentang masalah keuangan ini.
Namun Ardi selalu cuma bisa termenung dan hanya berucap pendek-pendek. Tanpa
solusi.
Sampai dua
bulan lalu, rasanya sudah tak tahan hadapi suaminya. Sekar jadi apatis. Dia
sudah kehabisan akal. Apa lagi yang harus dilakukan buat mendukung Ardi.
Rasanya semua telah dilakukan, tapi hasilnya nol besar.
Dia tak lagi
peduli Ardi. Dia hanya fokus pada ketiga anaknya. Tapi rupanya lama-lama
kondisi ini juga berimbas pada anak-anak. Tiga hari lalu Sekar akhirnya meledak
di depan anak-anak, ketika Ardi tiba-tiba ngomel panjang karena tiba-tiba mesti
anter anak2 pagi banget.
Dan Sekar
menyesal. Menyesal sangat. Anak-anak yang harusnya tidak tahu, kini jadi tahu
ada masalah antara papa dan mamanya. Mereka jadi jarang bicara, dan bisik-bisik
di kamar bertiga.
--
Ayu bossnya
beri isyarat supaya Sekar masuk ruangannya.
“Apa kabar
anak-anak2?” tanya Ayu begitu Sekar duduk di depannya.
“Eh, baik
mbak.”
Ayu memang
pernah ketemu anak-anak setiap kantor adakan “Family Gathering” tiap tahun.
“Syukurlah.”
“Kamu lagi
ada masalah?”, hati-hati Ayu bertanya.
Sekar
terdiam.
“Kalo butuh
tempat cerita, aku ada di sini ya. Kita udah temenan lama kan.”
Mereka
memang telah berteman sejak awal masuk kerja. Nasib baik membawa Ayu naik
jabatan dan jadi atasannya Sekar.
Sekar
menghela nafas.
“Ardi, mbak”
Ayu
menunggu.
“Aku tak
tahu lagi harus buat apa buat support dia.”
“Uang
tabungan sudah habis dipakai modal macem-macem usaha, tapi ga ada yang
berhasil.”
Sekar mulai
berlinang. Ayu ikut berkaca-kaca.
“Kemarin
kami bertengkar di depan anak-anak. Aku kayaknya udah ga kuat, mbak. Sampai
mana sih kita mesti bersabar pada suami kita?”
Dia tahu
perjuangan Sekar selama ini.
“Berat ya,
aku bisa bantu apa?”
Sekar terdiam
sambil menyusut air matanya.
“Aku punya
buku ini, siapa tahu bisa bantu ringankan beban di hati.” ucap Ayu sambil
angsurkan satu buku tipis.
“Isinya
tidak menggurui tapi kena banget buat aku mah.” Ayu tersenyum simpul.
“Makasih banyak
ya mbak.” Sekar baru ingat, dulu Ayu pernah hadapi juga masalah dengan suaminya
ketika ketahuan selingkuh. Bersyukur mereka bisa atasi dan sampai sekarang
rukun kembali.
“Pesanku cuma
satu: kembali, Sekar. Kembali terima dia, kembali cintai dia apa adanya.
Kembalikan niat awal ketika kalian mulai menikah. Kembali pada anak-anakmu,
mereka anak-anak manis banget, karunia terbesar dalam hidup kalian. Maka kamu
akan lebih ikhlas menerima apapun ujian rumah tangga kalian. Percayalah, aku
pernah alami itu.”
Mereka pun
berpelukan erat.
--
Di buku itu,
Sekar dapat beberapa hikmah.
Dan Sekar
bertekad, bahwa dia akan kembali pulang. Kembali seperti dulu. Terima Ardi apa
adanya. Dulu pun ketika menikah, mereka betul-betul berangkat dari nol. Tapi
pelan-pelan mereka berjuang bersama sampai pada titik ini.
Mau tahu apa
saja isi buku itu yang mampu menggugah Sekar untuk “kembali”?
Benci dan suka
Allah subhanahu wata'ala telah mengingatkan kita agar tidak membenci atau menyukai sesuatu padahal kita tidak tahu rahasia di balik itu. Dalam QS Al Baqarah:216 disebutkan "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
Ujian sebagai penggugur dosa
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ
وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا
كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada
satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung,
sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di
badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan
dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Jika seorang
isteri taat kepada suaminya serta tidak pergi meninggalkan suami maka pahalanya
sama dengan jihad di jalan Allah. Perhatikan hadist berikut: Al- Bazzar dan At Thabrani meriwayatkan bahwa seorang wanita pernah datang
kepada Rasullullah SAW lalu berkata : “ Aku adalah
utusan para wanita kepada engkau untuk menanyakan : Jihad ini telah diwajibkan
Allah kepada kaum lelaki, Jika menang mereka diberi pahala dan jika terbunuh
mereka tetap diberi rezeki oleh Rabb mereka, tetapi kami kaum wanita yang membantu
mereka , pahala apa yang kami dapatkan? Nabi SAW menjawab :” Sampaikan kepada
wanita yang engkau jumpai bahwa taat
kepada suami dan mengakui haknya itu adalah sama dengan pahala jihad di jalan Allah, tetapi sedikit
sekali di antara kamu yang melakukanya.
Rezeki itu dari Allah
Allah telah
berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 31:
نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ
‘…Kami-lah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada mu…’
Dalam ayat ini jelas
dikatakan bahwa sesungguhnya peran masing-masing hanyalah sebagai pelaksana
harian, dimana kehendak serta penentuan berada ditangan Allah semata. Sehingga
tidak ada hak bagi masing-masing untuk mengklaim sebagai penentu bagi
keberpihakan serta kebutuhan masing-masing. Suami Istri merupakan tim yang
seharusnya berlaku kompak dan sudah semestinya mereka bersinergi dalam
menjalani segala aspek dalam kehidupan ini.
Atas kehendak Allah, rezeki yang lebih bisa diberikan pada isteri dan bukan pada suami. Jadi jangankan menjadi tinggi hati jika suatu saat rezeki isteri melebihi suami, atau merasa lebih bermanfaat daripada suami, merasa bisa hidup sendiri dan dapat mengatasi sendiri segala hal, tidak mau diatur sehingga tidak patuh kepada suami. Inilah tanda-tanda kehancuran suatu kapal pernikahan.
“Ya Allah ya
Rabbi, Engkau adalah Dzat Yang Maha Memberi, maka berikanlah kepada suamiku
kelapangan atas rezekinya. Jika letaknya masih jauh, maka dekatkanlah yang
Rabb, jika masih berada di atas langit, maka segeralah turunkan untuknya. Dan
jika masih tertahan di dasar bumi, sungguh hanya Engkau yang Maha Mampu untuk
segera mengeluarkannya untuk suamiku. Hanya kepada Engkau kami memohon rezeki.
Hanya Engkau yang Maha Memberi rezeki tanpa mengharap imbalan. Karena
keagungan-Mu meliputi alam semesta dan isinya.
Duhai Allah kami bersaksi
bahwa tiada Illah selain Engkau, tiada berhak kami menyembah selain kepada
Engkau dan tiada pernah kami menyembah selain Engkau, kami hanya meminta kepada
Engkau, maka kabulkanlah permintaanku ini, ya Rabb. Dan aku percaya hanya
Engkaulah sebaik-baik pemberi dan zat yang maha menerima keluhan serta
permohonan hambamu, amin”
Jaminan masuk syurga
"Jika seorang isteri telah menunaikan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadlan dan menjaga kemaluannya daripada yang haram serta taat kepada suaminya, maka dipersilakanlah masuk ke syurga dari pintu mana saja kamu suka."(Hadits Riwayat Ahmad dan Thabrani)
Duh betapa istimewanya kan?
Jaadii, alasan apa lagi yang bisa jadi "excuse" Sekar buat terus terpaku dan tergugu pada masalah (yang katanya rasanya) berat itu?
Tak ada kan.