Enam huruf. Dalam maknanya.
Satu kata yang 2 bulan terakhir tak henti Nina pompakan ke benaknya, bisikkan ke hatinya.
Ketika dokter menyebut indikasi keganasan di ovariumnya. Dokter keempat, setelah wara wiri berobat ke tiga rumah sakit & berusaha cari info akurat ke sana ke mari. Dokter kelima, yang menyimpulkan kemungkinan kanker. "Semoga masih stadium awal", begitu beliau menenangkan.
Kanker.
Walaupun dokter masih bilang kemungkinan, namun tetap saja kata itu membuat Nina tercenung tak percaya. Walaupun pernah saksikan beberapa kerabat terkena penyakit ini. Tapi tak pernah terbayang, pada satu momen, kata itu mendekatinya. Memang masih butuh beberapa tes penunjang. Tapi dua dokter terakhir itu tegaskan: harus segera tindakan operasi. Tak boleh ditunda-tunda.
Maka menangis bombaylah Nina. Langsung terbayang hal-hal mengerikan yang selama ini cuma ia lihat di media atau dari berita. Terbayang wajah anak-anak tercinta, yang masih jauh dari dewasa. Terasa maut seperti mendekat.
Beruntung, Nina dikelilingi sahabat-sahabat baik. Yang Ia kirimkan untuk mau mendengarkan curhatannya dan tak putus mendukungnya.
"Jalani pengobatan dengan gembira. Hari ini habiskan tangismu. Besok mulailah pengobatan."
"Sakit itu harus dihadapi dengan dua kata. Santai dan serius. Santai menyikapinya, bertawakallah, karena ujian dari Allah pasti akan Ia mampukan kau hadapi. Serius jalani pengobatan, karena sebaik-baik ikhtiar mesti kau jalankan."
"Kalo butuh temen ngupi2 cantik ngobrol ketawa ketiwi, just call us."
"Yakinkan dalam hati bahwa kamu bakal sembuh, atas ijin-Nya."
"Bersyukurlah Nin, Allah sedang memberimu lampu kuning. Jadi kamu diingatkan. Kalo basa Sunda na mah: henteu tonggoy we terus ngurus duniawi."
Sebagian kata-kata penghiburan dari sahabat dan kerabat. Yang mampu kurangi beban di hati.
Satu lagi, suami yang amat sangat suportif. Selalu mau dengerin keluh kesah. Selalu siap dengan pelukan kala mental lagi turun, Tak terpancing marah ketika Nina mulai uring-uringan.
"Ikhlas.. tawakal ya sayang." Kata-kata itu yang selalu dibisikkan di telinganya.
Allah sedang rindu kamu mendekat, Nin.
Nina mencoba introspeksi:
"Selama ini, aku terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Telah berkali-kali Allah menjewer, aku sadar, mendekat namun lalu menjauh lagi."
"Mulai sekarang aku harus berusaha ikhlas. Pasti di sana sini masih dihiasi linangan air mata. Pasti tak mudah, tapi Insya Allah aku bisa. Semoga Allah mampukan aku menjalaninya."
Nina bertekad untuk semangat dan jalani pengobatan dengan sabar. Insya Allah aku bakal sembuh, harapan yang senantiasa dihembuskan di setiap helaan nafasnya.
Ikhlas adalah koentji.
Hasbunallah wa ni'mal wakil.