Selasa, 09 Februari 2016

Kelas Inspirasi #1: KIB 1

Aku ga ingat kapan tepatnya, ketika suatu hari aku baca tentang Kelas Inspirasi. Yang jelas, love at the first sight. Yap, langsung tertarik dan pengen banget bisa gabung. Bercerita tentang profesi kita pada anak2 SD itu kebayangnya asyik yaa… Cuma waktu pertama baca itu, aku mikir gimana yaa caranya.

Ndilalah, Aulia sobatku di Bogor, cerita kemaren baru ikut Kelas Inspirasi Depok (KID). Idiiih, Aul mau ikut juga dooong.. begitu langsung aku bilang. Aul bilang, nanti mungkin akan ada program serupa di Bogor. Okay, kabari yaaa jangan lupa, pesanku pada Aul setengah ngancem hahaha…

Waktu itu, Kelas Inspirasi sudah berjalan di sekian kota, salah satunya Bandung. Pada KI Bandung, Ridwan Kamil sang walikota ikut menjadi relawan. Foto-fotonya tersebar di berbagai medsos. Waah, mantap kali pun.

Singkat cerita, sekitar Juli 2013, Aul memberi kabar tentang pendaftaran Kelas Inspirasi Bogor #1 (KIB #1), jadi KI munggaran untuk Kota Bogor. Yeaayyy aku langsung teriak senang dalam hati. Trus langsung kepo, gimana caranya dll dst. Aul termasuk salah seorang panitia.

Deg2an juga ternyata tunggu pengumuman apakah aku diterima atau tidak jadi relawan. Pada waktunya diumumkan daftar relawan, dan ciihuuyyy namaku ada. Aku kebagian jadi relawan pengajar di SD Ciheuleut 1.

Pendaftar relawan Inspirator dan dokumentator untuk KI Bogor #1 kurang lebih 350 orang, Terpilih 220 orang dari berbagai profesi yang akan menginspirasi di 21 SD di Kota dan Kabupaten Bogor.

Kelompok relawan sudah dibagi. Kelompokku terdiri dari sepuluh pengajar/Inspirator, 2 fotografer dan 1 videografer. Lalu bikin grup di WA, ada satu kali kopi darat. Alhamdulillah, kelompokku lumayan kompak. Ketuanya juga oke, bisa mengarahkan diskusi dengan tetap menghargai pendapat setiap anggota kelompok. Txs, mas Irvan.

O ya, ada yang lucu tentang sang ketua. Setelah ngobrol sana sini, ternyata rumah kami berdekatan plus anak kami pernah sekelas waktu di TK hahaha… Aseli, dunia memang selebar daun kelor.

Briefing KI Bogor #1 diadakan pada tanggal 31 Agustus 2013, jam 9 WIB di Gedung Aula PGN, Bogor. Waktu itu aku ga bisa hadir, karena ada acara lain.

Lalu kepo jilid 2, tanya tanya Aul, apa aja yang kudu disiapin. Mulai deh stress, apa yaa yang mau diceritain ke anak2. Profesiku sebagai PNS kayaknya garing deh kalo dibagi gitu aja hehehe.. kudu ada improvisasi plus kreativitas.

Pikir punya pikir…. Akhirnya aku putuskan mau sharing tentang sampah ke anak2 itu. Kenapa kita mesti buang sampah di tempatnya, apa akibatnya kalo buang sampah sembarangan, apa aja jenis-jenis sampah. Kira-kira begitulah.

Aul pesen supaya pake media yang ringkes tapi menarik buat anak-anak. Jangan andalkan pake proyektor, supaya ga rempong gondol2 laptop plus proyektor wara wiri antar kelas.

Jadi aku cari-cari gambar di internet terkait materi yang akan aku share, lalu aku print. Rencananya, aku akan perlihatkan gambar-gambar itu sambil bercerita.

Persiapan kelompok untuk hari H, kami sudah siapkan beberapa properti seperti perkenalan, yell yell, dan balon cita-cita untuk penutupan.

Daan, tibalah hari yang ditunggu-tunggu.

Hari Inspirasi diadakan pada tanggal 11 September 2013, Udah mules-mules tuh dari semalem. Aku kebagian 3 kelas, kalo ga salah kelas 3, 5 dan 2. Pak ketua sudah bagi sesi ngajar untuk tiap relawan supaya semua dapet kelas besar dan kelas kecil. Tiap sesi disepakati 35 menit plus break istirahat pada pukul 10. Pembukaan pada jam 7 dan penutupan jam 12.

Laluuuu, apa yang terjadi?

Sesi pertama, bisa dibilang rada gagal. Sepuluh menit pertama anak-anak masih tertib duduk manis, sepuluh menit berikutnya mulai ada yang berdiri diri trus 10 menit berikutnya, mereka ribuuut ke sana ke mari plus ada yang berantem.., Waduuh emaaakkk pigimane iniiiii????

Thanks God sesi pertama berakhir juga.

Sesi kedua, alhamdulillaah dengan pengalaman sesi pertama dan dapet kelas besar, lebih tertib. Sebagian aktif menjawab dan ada yang bertanya. Sesi ini lumayan lancar dah.

Nah, sesi ketiga yang aseli bikin keringat banjir dan sutreesss… wakakakakkk!!! Kelas kecil ternyataaaaa sodaraah sodaraah…. Paling menantaaang!!!! Materi yang udah disiapin kaga tau ke mana hahaha udah ilang di memori.. Suara abis, mati gaya, ada yang berantem, dorong-dorongan, ada yang nangis… Alaaaah. Maaakkk!!! Tulung tuluuuung!!!...

Setelah sesi terakhir, kami langsung curhat sambil ketawa ngakak n sedikit sedih hahaha.. Rata-rata semua sama: keringeetan, stress, mati gaya..

Hari Inspirasi lalu ditutup dengan terbangkan balon yang sudah ditempeli kertas cita-cita setiap anak. Seruuuu… dan mengharu biruuu… Mataku berkaca-kaca.

Ternyata tidak mudah menjadi guru, padahal cuma satu hari.

Ternyata pendidikan dasar itu masih timpang.

Ternyata sebagian anak belum paham apa itu cita-cita.

Aaahhh… Banyak banget yang aku dapat hari itu.

----

Ada dua hal penting dari KIB#1 ini:

Yang pertama, silaturahmi itu betul nikmat. Sampai sekarang, kami masih kontak, walaupun makin lama makin jarang karena kesibukan masing-masing. Tapi di hatiku, kelompok Ciheuleut 01 ini yang pertama ada di hati dan paling membekas.

Yang kedua:
Bukan aku yang menjadi inspirator, namum sejatinya mata-mata polos mereka yang menginspirasiku.
Dan buat aku ketagihan ketemu mereka lagi.

----





Senin, 01 Februari 2016

PINTAR atau JUJUR?

Senin awal tahun baru lalu, aku iseng bikin pooling kecil-kecilan di status Facebook. Begini pertanyaannya:
1.       Ranking di rapot anak: amat penting, penting, atau kurang penting?
2.       Les pelajaran: sangat perlu, perlu atau belum perlu?
3.       Mana yang lebih penting: pintar atau jujur?

Anak di sini dimaksudkan anak Sekolah Dasar (SD). Sampai hari Jumat, ada 21 responden yang menjawab pooling itu. Berikut rekapnya (semoga ga menyalahi prinsip2 statistika hehe..):

Ranking
Menjawab penting: 24%, argumennya adalah untuk memotivasi anak dan sebagai tolok ukur sejauh mana kemampuan anak.
Menjawab kurang penting: 72%, 19% di antaranya menjawab kurang penting tapi minta info ke guru hahaha... kepo nih ceritanya.

Les pelajaran
Menjawab perlu: 10%, pertimbangannya mungkin untuk mengejar ketinggalan dibanding anak lain atau untuk memantapkan nilai anak.
Menjawab belum perlu: 57%, sebagian berpendapat anak- lebih perlu les di luar pelajaran seperti les ngaji, terkait bakat/seni seperti musik atau olahraga seperti renang. Sebanyak 33% menjawab bisa perlu atau tidak, sesuai sikon atau perlu untuk kelas 6 yang mau ngadepin UN, yang ini rada kreatif karena menjawab tidak sesuai pilihan.

Jujur
100% memilih jujur.. Yeaayyy yiipiee yippiee yeeayyy!!!!
Tilimikicih yang sudah ramah dan baik hati mau jawab pooling ini yaa...
----

Berikut pendapatku pribadi.

Ada satu argumen yang menjawab ranking penting, yaitu untuk memotivasi anak. Persaingan itu bagus kalau ditanggapi secara positif. Pada saat rankingnya bagus, anak harus dilatih untuk tidak jumawa. Tapi pada waktu rankingnya jatuh, anak harus dilatih untuk tidak menyesali diri. Aku setuju dengan pendapat bijak ini. Taaapiii jujur agak pesimis hehe maaf... karena tidak banyak ortu bijak seperti ini.

Sebagian besar responden berpendapat bahwa ranking kurang atau malah tidak penting. Di antara responden yang menjawab kurang penting, terselip argumen kasihan, masih anak-anak atuh dan 1 jawaban aneh yaitu epen alias emang penting: 4% alias 1 orang hahaha... Dan ada satu jawaban responden yang mantap buat aku. Argumennya: ga penting karena tidak menjamin masuk surga. Dipikir-pikir bener juga yaa….

Kok sama ya dengan pendapatku pribadi. Buat aku, ranking itu sekedar penilaian berdasarkan kuantitatif. Tidak ada penilaian kualitatif tentang sikap dan perilaku anak. Padahal setiap anak itu individu dengan keunikan tersendiri, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Lalu apa yang terjadi? Sebagian orang (ortu dan atau guru) berpendapat, angka-angka itu seolah segala-galanya. Harus didapat setinggi mungkin, dengan berbagai cara. Anak diwajibkan ikut macam-macam les pelajaran, terutama pelajaran yang dianggap “dewa”, seperti Matematika hehehe..  Pulang sekolah, mampir rumah sebentar untuk ambil baju ganti atau perlengkapan les, atau malah langsung ke tempat les. 

Padahal mungkin lebih baik jika anak istirahat setelah belajar di sekolah. Biarkan dia main yoyo kesukaannya, main sepeda sama anak-anak tetangga, boci boci sebentar. Dijamin besok pergi sekolah, dia fresh kembali buat nerima pelajaran.

Sedihnya, cara-cara yang ditempuh buat dapetin angka bagus itu kadang bukan cara yang baik (cara yang buruk), menurutku. Nilai bisa dibeli, ada beberapa “oknum” guru yang mau kasih nilai tinggi jika si anak ikut les atau setelah ortu melakukan pendekatan. Ada juga yang tempuh cara nilai raport bisa diganti dengan nilai yang bagus-bagus. Hiks... ......................

Otak manusia terdiri dari otak kiri dan otak kanan. Dikutip dari sebuah sumber, dengan otak kiri manusia cenderung berfikir logika, nalar, angka, bahasa, urutan, sistematik. Sedangkan otak kanan berfungsi ketika kita berfikir kreatif, imajinasi, inovasi, seni/musik, gambar, emosi dll. Untuk perkembangan yang optimal, tentunya keduanya harus difungsikan secara seimbang.

Setiap anak itu unik. Ada anak yang tidak suka matematika, tapi solider banget sama teman. Ada yang kurang bagus kemampuan verbalnya, tapi pintar menggambar. Tidak semua bisa dinilai dengan angka. Otak kanan dan otak kiri perlu dirangsang supaya potensi anak betul-betul tergali.

Jangan kecil hati jika nilai matematika anak kita cuma 6, coba gali potensi lain. Mungkin dia suka banget nyanyi atau main musik.  Jangan kecil hati ketika diterangkan PR bahasa, dia ga ngerti-ngerti. Mungkin dia punya bakat jadi pelukis. Tapi jangan juga paksa anak kita les menari Bali, jika dia sukanya hitung-hitungan. Tugas kita lah sebagai orang tua untuk menggali potensi anak.

Jadi inget pengalaman bagi rapot waktu Ilman kelas 1. Tidak ada ranking ditulis di rapot atau di papan tulis. Orangtua yang juara 1 sampai 3 Cuma dibisiki sama ustadzahnya, lalu diberi hadiah kecil. Tanpa anak-anak atau ortu lain tahu. Jadi anak tidak kecil hati, tapi di sisi lain anak yang ranking bagus juga dapat apresiasi.

Yang lebih bagus lagi. Setiap anak dapat piala kecil sebagai reward dengan kata-kata manis. Seperti: anak rajin tersenyum, rajin datang pagi, suka menolong teman, dan lain-lain pujian kualitatif yang menggambarkan keunikan si anak.  Secara tidak langsung, anak didorong untuk percaya diri. Aku tidak pintar IPA, tapi aku suka tersenyum. Aku tidak pintar Matematika, tapi aku suka menolong teman.

IT IS SO GOOD, THUMBS UP!!!
----

Sekarang beralih ke les pelajaran. Seneng banget, lebih dari setengahnya menjawab belum perlu untuk anak-anak usia SD. Sebagian dengan catatan, kecuali untuk kelas 6 yang akan hadapi UN. Menarik untuk kita bareng-bareng cermati.

Kenapa kelas 6 perlu UN? Menurut pengamatanku, supaya anak terbiasa latihan soal. Dan ujung-ujungnya untuk dapat NEM bagus. Jadi, kembali ke poin pertama tadi. Kepandaian anak terutama diukur dari angka-angka yang dia capai. Bukan pada kualitasnya, seperti akhlak kepada guru dan teman, pembiasaan ibadah, sikap dan perilakunya.

Terbayang, jika semua anak hanya pintar Matematika atau Sains, maka tidak akan ada penyanyi sekeren Ruth Sahanaya atau Tulus, tidak ada pelukis sebeken Affandi, tidak ada penulis sekreatif Andrea Hirata atau Asma Nadia. Tidak romantis dunia iniiii….

Tolok ukur UN kudu wajib diperbaiki. Terus terang belum kebayang caranya. Tapi masak anak cuma dinilai dari pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris? Sengsara banget anak yang berbakat besar di bidang seni, sedih banget anak yang jago olahraga.
----

Last but not least: KEJUJURAN.

Semua responden memilih jujur daripada pintar. Jempol empat buat semuanyaaa!!! Alhamdulillaah.. Jujur masih dianggap lebih penting daripada pintar. Secara garis besar, ortu tidak berharap anak pintar tapi tidak jujur. 

Kenapa? Menurutku, salah satu sebab utama penurunan berbagai norma-norma yang dahulu masyakat pegang teguh adalah karena kejujuran yang makin terkikis.

Tidak mengapa dongkrak nilai di rapot, yang penting ranking 5 besar.
Tidak masalah bayar sekian di luar jalur, yang penting masuk SMP favorit.
Ga papa nyontek waktu ulangan, yang penting nilai 9.

Ada anekdot: orang pintar yang kurang berakhlak sering menjadi "minteri" alias membodohi orang demi tujuan pribadi.

Jangka panjangnya? Korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi waktu, korupsi duit, korupsi lain-lain. Kolusi buat dapetin jabatan atau kekayaan, ga papa sikut sikut dikit. Nepotisme (percaloan secara halus) di mana-mana. Cara-cara instan untuk bisa sukses, dengan tolok ukur hal-hal material.
----

Ketiga pertanyaan dalam pooling sederhana itu sebetulnya terkait. Jika orientasi kita pada nilai, maka lama kelamaan persepsi masyarakat terbentuk, bahwa hanya yang ranking minimal 10 besar yang bakal sukses. Bagaimana cara mencapai itu, mari kita kasih anak berbagai les pelajaran “penting”.  Abaikan mengaji atau les musik dan gambar. Jika itu masih belum cukup untuk dapat nilai tinggi, mari kita sogok guru supaya nilai di rapot tetap bagus.

Itu contoh ekstrim tentu.

Tapi tidak bisa kita pungkiri, itu terjadi di masyarakat kita.

Mari kita tanya diri kita (termasuk saya sendiri), apakah itu yang ingin kita bentuk pada anak-anak kita tercinta?

Yang jelas, bukan itu yang ingin aku wariskan pada anak-anakku, amanah dan anugerah yang tak ternilai dari Sang Pencipta.

----

Refleksi pribadi hasil observasi sendiri