Senin awal tahun baru lalu, aku iseng bikin
pooling kecil-kecilan di status Facebook. Begini pertanyaannya:
1.
Ranking di rapot anak: amat
penting, penting, atau kurang penting?
2.
Les pelajaran: sangat perlu, perlu
atau belum perlu?
3.
Mana yang lebih penting: pintar
atau jujur?
Anak di sini dimaksudkan anak Sekolah Dasar
(SD). Sampai hari Jumat, ada 21 responden yang menjawab pooling itu. Berikut
rekapnya (semoga ga menyalahi prinsip2 statistika hehe..):
Ranking
Menjawab penting: 24%, argumennya adalah untuk
memotivasi anak dan sebagai tolok ukur sejauh mana kemampuan anak.
Menjawab kurang penting: 72%, 19% di antaranya
menjawab kurang penting tapi minta info ke guru hahaha... kepo nih ceritanya.
Les pelajaran
Menjawab perlu: 10%, pertimbangannya mungkin untuk mengejar ketinggalan dibanding anak
lain atau untuk memantapkan nilai anak.
Menjawab belum perlu: 57%, sebagian
berpendapat anak- lebih perlu les di luar pelajaran seperti les ngaji, terkait
bakat/seni seperti musik atau olahraga seperti renang. Sebanyak 33% menjawab
bisa perlu atau tidak, sesuai sikon atau perlu untuk kelas 6 yang mau ngadepin
UN, yang ini rada kreatif karena menjawab tidak sesuai pilihan.
Jujur
100% memilih jujur.. Yeaayyy yiipiee yippiee
yeeayyy!!!!
Tilimikicih yang sudah ramah dan baik hati mau
jawab pooling ini yaa...
----
Berikut pendapatku pribadi.
Ada satu argumen yang menjawab ranking
penting, yaitu untuk memotivasi anak. Persaingan itu bagus kalau ditanggapi
secara positif. Pada saat rankingnya bagus, anak harus dilatih untuk tidak
jumawa. Tapi pada waktu rankingnya jatuh, anak harus dilatih untuk tidak menyesali
diri. Aku setuju dengan pendapat bijak ini. Taaapiii
jujur agak pesimis
hehe maaf... karena tidak banyak ortu bijak seperti ini.
Sebagian besar responden berpendapat bahwa
ranking kurang atau malah tidak penting. Di antara responden yang menjawab kurang penting, terselip argumen
kasihan, masih anak-anak atuh dan 1 jawaban aneh yaitu epen alias emang penting: 4% alias
1 orang hahaha... Dan ada satu jawaban responden yang mantap buat aku. Argumennya: ga penting
karena tidak menjamin masuk surga. Dipikir-pikir
bener juga yaa….
Kok sama ya dengan pendapatku pribadi. Buat
aku, ranking itu sekedar penilaian berdasarkan kuantitatif. Tidak ada penilaian
kualitatif tentang sikap dan perilaku anak. Padahal setiap anak itu individu
dengan keunikan tersendiri, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Lalu apa yang terjadi? Sebagian orang (ortu
dan atau guru) berpendapat, angka-angka itu seolah segala-galanya. Harus
didapat setinggi mungkin, dengan berbagai cara. Anak diwajibkan ikut
macam-macam les pelajaran, terutama pelajaran yang dianggap “dewa”, seperti
Matematika hehehe.. Pulang sekolah,
mampir rumah sebentar untuk ambil baju ganti atau perlengkapan les, atau malah langsung
ke tempat les.
Padahal mungkin lebih baik jika anak istirahat setelah belajar di sekolah.
Biarkan dia main yoyo kesukaannya, main sepeda sama anak-anak tetangga, boci
boci sebentar. Dijamin besok pergi sekolah, dia fresh kembali buat nerima
pelajaran.
Sedihnya, cara-cara yang ditempuh buat dapetin
angka bagus itu kadang bukan cara yang baik (cara yang buruk), menurutku. Nilai
bisa dibeli, ada beberapa “oknum” guru yang mau kasih nilai tinggi jika si anak
ikut les atau setelah ortu melakukan pendekatan. Ada juga yang tempuh cara
nilai raport bisa diganti dengan nilai yang bagus-bagus. Hiks...
......................
Otak manusia terdiri dari otak kiri dan otak
kanan. Dikutip dari sebuah sumber,
dengan otak kiri manusia cenderung berfikir logika, nalar, angka, bahasa,
urutan, sistematik. Sedangkan otak kanan berfungsi ketika kita berfikir
kreatif, imajinasi, inovasi, seni/musik, gambar, emosi dll. Untuk perkembangan
yang optimal, tentunya keduanya harus difungsikan secara seimbang.
Setiap
anak itu unik. Ada anak yang tidak suka matematika, tapi solider banget sama
teman. Ada yang kurang bagus kemampuan verbalnya, tapi pintar menggambar. Tidak
semua bisa dinilai dengan angka.
Otak kanan dan otak kiri perlu dirangsang supaya potensi anak betul-betul
tergali.
Jangan kecil hati jika
nilai matematika anak kita cuma 6, coba gali potensi lain. Mungkin dia suka
banget nyanyi atau main musik. Jangan
kecil hati ketika diterangkan PR bahasa, dia ga ngerti-ngerti. Mungkin dia punya
bakat jadi pelukis. Tapi jangan juga paksa anak kita les menari Bali, jika dia
sukanya hitung-hitungan. Tugas kita lah sebagai orang tua untuk menggali
potensi anak.
Jadi inget pengalaman
bagi rapot waktu Ilman kelas 1. Tidak ada ranking ditulis di rapot atau di
papan tulis. Orangtua yang juara 1 sampai 3 Cuma dibisiki sama ustadzahnya,
lalu diberi hadiah kecil. Tanpa anak-anak atau ortu lain tahu. Jadi anak tidak
kecil hati, tapi di sisi lain anak yang ranking bagus juga dapat apresiasi.
Yang lebih bagus lagi. Setiap anak dapat piala
kecil sebagai reward dengan kata-kata manis. Seperti: anak rajin tersenyum,
rajin datang pagi, suka menolong teman, dan lain-lain pujian kualitatif yang
menggambarkan keunikan si anak. Secara
tidak langsung, anak didorong untuk percaya diri. Aku tidak pintar IPA, tapi
aku suka tersenyum. Aku tidak pintar Matematika, tapi aku suka menolong teman.
IT IS SO GOOD, THUMBS UP!!!
----
Sekarang beralih ke les pelajaran. Seneng
banget, lebih dari setengahnya menjawab belum perlu untuk anak-anak usia SD.
Sebagian dengan catatan, kecuali untuk kelas 6 yang akan hadapi UN. Menarik
untuk kita bareng-bareng cermati.
Kenapa kelas 6 perlu UN? Menurut pengamatanku,
supaya anak terbiasa latihan soal. Dan ujung-ujungnya untuk dapat NEM bagus.
Jadi, kembali ke poin pertama tadi. Kepandaian anak terutama diukur dari
angka-angka yang dia capai. Bukan pada kualitasnya, seperti akhlak kepada guru
dan teman, pembiasaan ibadah, sikap dan perilakunya.
Terbayang, jika semua anak hanya pintar
Matematika atau Sains, maka tidak akan ada penyanyi sekeren Ruth Sahanaya atau
Tulus, tidak ada pelukis sebeken Affandi, tidak ada penulis sekreatif Andrea Hirata atau Asma Nadia. Tidak romantis
dunia iniiii….
Tolok ukur UN kudu
wajib diperbaiki. Terus terang belum kebayang caranya. Tapi masak anak cuma dinilai
dari pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris? Sengsara
banget anak yang berbakat besar di bidang seni, sedih banget anak yang jago
olahraga.
----
Last but not least: KEJUJURAN.
Semua responden memilih jujur daripada pintar.
Jempol empat buat semuanyaaa!!! Alhamdulillaah.. Jujur masih dianggap lebih
penting daripada pintar. Secara garis besar, ortu tidak berharap anak pintar
tapi tidak jujur.
Kenapa? Menurutku, salah satu sebab utama penurunan
berbagai norma-norma yang dahulu masyakat pegang teguh adalah karena kejujuran
yang makin terkikis.
Tidak mengapa dongkrak nilai di rapot, yang
penting ranking 5 besar.
Tidak masalah bayar sekian di luar jalur, yang
penting masuk SMP favorit.
Ga papa nyontek waktu ulangan, yang
penting nilai 9.
Ada anekdot: orang pintar yang kurang berakhlak sering menjadi "minteri" alias membodohi orang demi tujuan pribadi.
Jangka panjangnya?
Korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi waktu, korupsi duit, korupsi lain-lain.
Kolusi buat dapetin jabatan atau kekayaan, ga papa sikut sikut dikit. Nepotisme
(percaloan secara halus) di mana-mana. Cara-cara instan untuk bisa sukses,
dengan tolok ukur hal-hal material.
----
Ketiga pertanyaan dalam pooling sederhana itu
sebetulnya terkait. Jika orientasi kita pada nilai, maka lama kelamaan persepsi
masyarakat terbentuk, bahwa hanya yang ranking minimal 10 besar yang bakal
sukses. Bagaimana cara mencapai itu, mari kita kasih anak berbagai les
pelajaran “penting”. Abaikan mengaji atau les musik dan gambar. Jika itu masih belum cukup untuk dapat nilai tinggi, mari kita sogok
guru supaya nilai di rapot tetap bagus.
Itu contoh ekstrim tentu.
Tapi tidak bisa kita pungkiri, itu terjadi di masyarakat
kita.
Mari kita tanya diri
kita (termasuk saya sendiri), apakah itu yang ingin kita bentuk pada anak-anak
kita tercinta?
Yang jelas, bukan itu yang ingin aku wariskan pada anak-anakku, amanah dan anugerah yang
tak ternilai dari Sang Pencipta.
----
Refleksi pribadi hasil observasi sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar