Ema
Tiga huruf itu adalah panggilan ibuku tersayang dari kami
anak-anaknya. Ema dalam bahasa Sunda berarti Ibu.
Sampai detik ini, setiap mengingat sosok Ema, selalu ada
rasa perih di hati. Perih karena mungkin semasa hidupnya, aku belum berbuat
yang terbaik untuknya. Kadang timbul rasa penyesalan, walau kutahu itu tak
berguna. Segera kulafazkan Al Fatihah beserta serangkaian doa untuk almarhumah.
Sebagai tanda cintaku pada Ema, kucoba tuliskan semua hal tentang beliau, sosok penyayang plus melankolis yang suka segala sesuatu berjalan baik dan rapi.
--
Istri
Sebagai istri Apa, Ema selalu memastikan Apa gemah ripah loh
jinawi hehe. Salah satu contohnya adalah pakaian. Setiap pagi, baju Apa sudah
siap, dari mulai pakaian dalam sampai kemeja dan celana panjang yang Ema padu
padankan. Berhubung baju kerja Apa terbatas, maka Ema selalu pastikan jadwalnya
sesuai supaya ketika masuk mengajar di kelas yang sama, baju Apa berganti,
tidak itu-itu saja hehe.
Hasil cucian dan setrikaan Ema mungkin bisa disandingkan
dengan hasil laundry mahal. Bersih wangi walaupun tanpa pewangi, trus rapii
jaliii… kalo dipegang itu angeett gituu.
Ema hafal banget dengan jumlah pakaian Apa. Jika ada yang
mulai sobek sedikit, Ema langsung menisiknya dengan rapii sampai tak terlihat.
Dan selalu ada baju cadangan untuk Apa, entah itu baju dalam ataupun kemeja,
yang disimpan di tempat khusus di lemari.
--
Ibu
Aku anak keempat sekaligus satu-satunya anak perempuan. Ada
satu masa ketika aku merasa lebih dekat pada Apa, ayah kami. Waktu SMP, aku bahkan pernah diajak Apa nonton Persib di Stadion Siliwangi haha.
Lalu ada masanya ketika hubungan aku dan Ema begitu mesra. Itu
terutama terasa ketika aku telah lulus kuliah dan mulai belajar kerja. Setiap Sabtu aku pulang, di rumah Ema sudah masakkan makanan kesukaanku dan kami bisa ngobrol berjam-jam cerita ini itu.
Tapi ada masanya juga, ketika kami berdebat cukup panas
akibat saling ngotot dengan pendapat masing-masing. Ini sering terjadi ketika aku sudah menikah dan punya anak. Aku merasa sudah dewasa dan berhak punya pendapat sendiri. Sementara Ema mungkin masih beranggapan aku anak bungsunya yang masih perlu dibimbing.
Dulu ketika lulus SMA, Ema pengen aku jadi guru. Jadi guru,
tak perlu tiap hari ke sekolah, anak libur sekolah kita ikut libur. Guru jaman itu tak perlu ke sekolah tiap hari. Ke sekolah terutama ketika ada jam mengajarnya atau ada rapat guru. Tapi kala
itu, dengan pedenya aku menggeleng. Pengen jadi insinyur.
Padahal sekarang setelah punya anak, baru terasa betulnya
pertimbangan Ema. Anak-anak masih libur tapi aku mesti ngantor. Waktu kecil,
mereka sering kubawa ikut ke kantor. Sekarang setelah besar, kadang mereka
manyun karena aku mesti ngantor sementara mereka pengen liburan deket-deket
emaknya.
Tekanan pekerjaan juga tentu berbeda antara kantoran macem
aku dengan guru. Kalo ketemu guru anak-anakku, kok rasanya hidup mereka
damaiiii yaaa. Plus ladang pahala ketika ilmu yang kita ajarkan itu diamalkan
anak-anak didik kita.
Tapi apakah Ema atau Apa paksakan kehendak? Tidak.
Dengan sepenuh hati, mereka dukung aku capai cita-cita itu.
Terutama untuk urusan sekolah, kalo kata basa Sunda mah: hulu dijieun suku, suku dijieun
hulu. Dengan segala daya upaya, kebutuhan sekolah anak-anaknya selalu mereka
upayakan. Guru masa itu belumlah sesejahtera masa kini, dengan apresiasi semacam
sertifikasi dsb. Alhamdulillah keempat anaknya kuliah di perguruan tinggi
negeri jadi tak terlalu berat.
Ema bilang berkali-kali. Tugas utama anak-anaknya adalah
belajar. Karena Ema dan Apa tak bisa wariskan harta, cuma ilmu yang bisa mereka
wariskan. Ya ilmu.
Prinsip yang sampai sekarang selalu aku pegang dan aku
teruskan ke kedua anakku. Dengan ilmu, hati dan pikiran kita menjadi luas.
Dengan ilmu, cara beragama kita menjadi lebih bijak.
Satu prinsip Ema yang terus membekas di hati adalah memastikan
anak-anaknya cukup makan dan sandang. Setelah dewasa, aku baru perhatikan, Ema
selalu “ngaduakeun huap”. Belum akan makan sebelum anak-anak dan suaminya cukup
kenyang. Belum akan beli baju baru sebelum anak-anaknya punya baju baru. Baju
baru kami hanya dibeli setahun sekali jelang Lebaran. Sepatu baru hanya dibeli
ketika kami naik kelas. Tapi kok itu ga bikin kami minder yaa hehe enjoy
ajaahhh..
--
Guru
Ema seperti halnya Apa, adalah guru. Bermula dari guru SD
selama puluhan tahun, guru bahasa untuk kelas 1. Kami anak-anaknya juga diajar
Ema, lengkap beserta segala kelucuannya haha.. Di kelas, kakakku pernah mengacung dan refleks panggil: Emaaa haha bukannya bilang bu guru.
Ema mengajar anak unyu-unyu itu sejak dari mengenal abjad. Pengenalan
abjad itu ternyata ada tahapannya, huruf mana yang dikenalkan lebih awal lalu
bertahap ke kumpulan huruf lainnya. Kala itu, di TK memang tidak diajarkan
membaca seperti sekarang. Lalu menulis pun diajari bertahap. Satu kumpulan
huruf dulu lalu sekumpulan huruf lainnya. Ternyata dalam membaca dan menulis itu
memang disesuaikan dengan perkembangan anak, ada ilmunya. Tidak sembarang. Mungkin tak banyak orang tahu yaa
hehe..
Lalu, ketika SD itu “dibubarkan”, Ema terpaksa menjadi “guru
mahasiswa” atau dosen. Hal yang berulang beliau katakan bahwa jadi dosen tidak menyenangkan, jadi guru SD jauuhh lebih asyik baginya.
Itu beliau jalani sampai pensiun.
--
Sederhana
Aku rasa Ema adalah salah satu orang paling sederhana di
muka bumi ini.
Ketika para tetangga punya kompor gas, Ema masih setia
dengan kompor Toyoset nya, yang kudu dicek lalu diganti sumbunya secara
berkala. Berhubung Ema orangnya apik banget, maka tuh kompor awet banget.
Kompor gas beserta tabungnya baru bertengger di dapur kecil kami ketika aku
SMA. Haha….
Belum lagi kulkas. Walaupun anak-anaknya merengek minta beli
kulkas akibat iri liat temennya bisa makan es bikinan sendiri. Tapi Ema keukeuh
peuteukeuh. Kulkas baru ada ketika kakakku udah kerja trus beliin kulkas, itu
pun second.
Plus beliau sebetulnya punya jiwa ke-TL-an lebih dari
anaknya hihi.
Air cucian beras tidak pernah dibuang, selalu Ema tampung
buat siram tanaman kuping gajah kesayangannya. Alhasil kuping gajah di pot itu
jadi bagus banget, daunnya lebar dan berkilau gitu deh keknya. Air bekas wudlu
pun beliau tampung lalu dipakai buat siram rumput di halaman depan rumah.
--
Rapi
Ema orangnya suka kebersihan dan kerapihan. Walaupun rumah kami amat sederhana, tapi selalu bersih. Lantai semen tak berkeramik tapi selalu licin bersih, kamar mandi selalu bersih dengan bak dan lantai yang rutin dibersihkan, halaman rumput yang selalu disapu tiap pagi.
Setelah berumahtangga, nilaiku dalam kebersihan dan kerapihan mungkin merah di mata Ema haha.. Jujur aku tak suka bebenah.
Ketika Ema dan kemudian Apa wafat, kami mulai bongkar lemari Eni dan lalu takjub. Betapa rapinya Eni. Surat-surat dari kakakku yang kuliah di Bogor masih ada, foto-foto kala kami kecil, bahkan undangan reuni SD angkatanku masih ada di lacinya.
Piring mangkok dan wadah-wadah jadul masih tersusun rapi di lemari. Alhamdulillah aku jadi dapet banyak warisan alat rumah tangga yang masih bagus walaupun sudah bertahun-tahun tak dipakai.
---
Rasa sayang
Jujur, Ema bukanlah orang yang someah atau langsung banyak
senyum ketika baru kenal seseorang. Mungkin bahkan ada orang yang menganggap
beliau sedikit judes hehe. Taapii, jangan tanya kalo beliau udah sayang sama
seseorang. Sampai kapanpun beliau bakal inget orang itu, kalo punya sesuatu
yang orang itu suka pasti beliau sisihkan buat dikirimkan. Ema penyayang dengan
caranya sendiri.
--
Aku
Ada beberapa masa dalam hidupku ketika dukungan Ema begitu
terasa nyeess ke hati ini.
Ketika Tugas Akhir S1, entah kenapa kala itu aku terkena
stress yang cukup parah. Ga bisa tidur, ga mau makan, sampai kuruusss. Mungkin
ada turun berat badan 10 kg. Stress
akibat takut ga bisa beresin TA.
Tak banyak orang yang tahu, kala itu setiap malam aku baru
bisa tidur di pelukan Ema. Ema tak pernah memarahiku dan bertanya kenapa aku
bisa bertingkah seaneh itu, yang beliau lakukan cuma satu: memeluk aku
sepanjang malam.
Lalu buat urusan asmara ahaayyy…. Aku termasuk telat untuk
urusan asmara atau cinta cintaan ahaayyy. Kala SMP, aku cukup ngeceng seseorang
dari kejauhan, tanpa berani mendekat. Kala SMA juga begitu, walaupun ada
kemajuan sedikit. Ada satu dua orang yang nyatain (nembak kali ya jaman
now mah haha) tapi sayangnya yang nembak bukan yang dikeceng.
Hahaha..kasihan kasihan kasihan (upinipin).
Aku jatuh cinta lalu pacaran betulan ketika kerja di suatu
kantor. Jatuh cinta yang penuh derai air mata akibat banyak kebodohan. Baper to
the max pokoknya deh.
Tapi apa reaksi Ema? Ema tak pernah melarang aku berhubungan
dengan doi. Walaupun mungkin dalam hatinya, beliau tak sepenuhnya setuju. Ema
dan Apa seperti menggiring aku (tanpa sadar) supaya kepentok sendiri baru kebangun.
Ema tahu kalo aku dilarang, pasti aku akan melawan dengan berbagai cara.
Dan akhirnya itu berakhir dengan baik. Setelahnya aku baru
tersadar: betapa begonya gueee!!!! Tapi mungkin memang begitu jalan yang harus aku
lalui, naik turun dalam rangka belajar dewasa.
Lalu tiba masanya ketika aku merasa sudah cukup dewasa dan
tidak suka beliau turut urun pendapat. Lalu merasa berhak untuk berdebat
panjang dan mungkin berani bicara dengan nada tinggi. Pada ibuku. Ibuku yang
telah mengandung 9 bulan dengan susah payah. Ibuku yang telah mendidik dan
merawatku sampai dewasa. Ibuku yang rela mengasuh kedua buah hatiku pada masa
tuanya yang mestinya “disenangkeun”.
Nauzubillaah. Hapunten anu kasuhun, Ema.
Kadang ingin rasanya bertanya, apakah sebagai anak aku telah
lakukan yang terbaik buat Ema dan Apa. Namun tanya itu cuma bisa aku bisikkan
dalam doaku. Semoga apa yang telah aku capai bisa buat mereka bangga.
Khusus buat Ema, ibuku tersayang. Sampai hari ini, kadang
masih timbul rasa sesal, betapa masih banyak peerku sebagai anak. Betapa
“culangung”nya aku. Pengorbanan beliau buat aku dan anak-anakku tak kan
terbalas sampai kapan pun.
Buat aku, Ema adalah ibu terbaik.
A devoted wife, a loving mom, a dedicated teacher.
Haturnuhun Emaaa...
*menulissambilmrebesmili