Selasa, 25 Juli 2017

Allah Maha Baik

Allah Maha Baik

Dalam segala kurang dan kotorku
masih saja
Kau turunkan berkat dan karuniaNya
Berlimpah ruah

Terbangun di pagi hari
dengan anggota tubuh sempurna
seperti hari sebelumnya
Tanpa resah

Kau beri aku energi cukup
untuk siapkan beraneka
sebagai  ibu dan istri
Engkau karuniakan
makanan minuman
untuk pulihkan energi kami
Tanpa susah

Malam pun tiba
Kutatap “bulan” dan “matahari”ku
Qurrota a’yun
semoga sampai kelak ya nak
Tetap istiqomah

Kupandang “bintang” di sampingku
Imam dan penyeimbangku
Semoga…
Alhamdulillaah yaa Allah

Ibadahku di hari itu
hanya bisa dihitung jari tangan
sebelah pula
Dosaku di hari itu
mungkin malah bertambah-tambah
Aibku di hari itu
telah Kau tutupi
Alhamdulillah...

Allah Maha Baik

Lalu tersungkur aku
bersujud pada-Mu
yaa Allah
Arrohmanirrohim




Minggu, 16 Juli 2017

Pilih-pilih Sekolah Anak

Tentunya, ada banyak pertimbangan buat ortu ketika milih sekolah buat anaknya. Yang utama adalah pasti anak akan dipilihkan sekolah yang terbaik. Ini bicara tentang pendidikan dasar ya manteman hehe.. ketika anak belum bisa 100% diberi tanggungjawab buat milih sekolahnya.

Aku sendiri dan suami punya beberapa pertimbangan ketika milih SD dan SMP buat anak-anak kami. Berikut beberapa poinnya:

Buat tingkatan SD, kami sepakat pilih sekolah Islam Terpadu.

Walaupun dari segi biaya memang cukup menguras kantong PNS cem kami ini hehe. Tapi kami percaya itu investasi, tidak hanya buat si anak tapi juga buat lingkungan dan masyarakat. Aku ingat, sewaktu isi form pendaftaran dan sampai pada kolom: Apa harapan ayah/ibu menyekolahkan anak di sini? Kurang lebih ini jawabanku: saya berharap anak bisa berkembang potensi uniknya serta punya keseimbangan antara SQ, IQ dan EQ. Semakin menurunnya kualitas manusia aku pikir salah satu sebabnya adalah akibat kita terlalu mengagungkan yang namanya IQ. Anak dijejali dengan berbagai materi tanpa diiringi pengayaan batinnya. Hasilnya? Makin banyak perilaku permisif yang amat sangat memprihatinkan pisaannn!!!

Potensi unik juga penting, karena tidak semua anak pintar matematika. Ada anak yang suka menulis maka dia kuat di potensi verbal. Ada anak yang punya bakat seni, jadi tentunya ga perlu dipaksa dijejali sains yang njlimet. Ada anak yang kuat hafalan, maka dia potensi jadi hafidz Quran. Intinya anak tidak disamaratakan. Kenali potensinya dan kembangkan yang positif lalu diajari kelola yang masih kurang positif.

Betul, sekolah umum memang gratis, tapi rasanya sayang kalo anakku cuma dapet materi pelajaran umum yang hanya mengasah IQnya. Di sekolah IT, anak akan mendapat pembiasaan ibadah dan penanaman akhlak. Berarti SQ dan EQnya akan juga terasah. Akhlak pada guru/ortu, pada teman, sampai pada OB yang sehari-hari menjaga kebersihan sekolah pun anak-anak tidak pernah melecehkan.

Dari segi biaya yang memang lebih mahal dari umumnya sekolah lain, tapi kami merasa itu memang kembali pada anak. Fasilitas yang memadai, jumlah dan kualitas guru yang baik, lingkungan yang bersih dan hijau, dan lain-lain. Tentang guru ini, aku masih ingat ketika Kaka SD, anak-anak itu gak ragu buat gelayutan di tangan pak Kepseknya. Hehe hal yang jarang dijumpai di sekolah umum. Guru sudah terlalu ribet dengan mengajari minimal 40 anak, belum lagi tugas-tugas administrasi yang bikin kening makin berkerut.

Komunikasi yang nyaman dengan guru dan pihak sekolah jadi poin tersendiri. Ketika bisa menyampaikan saran atau keluhan pada mereka tuh rasanya nyaman yaa. Pembiasaan di sekolah bisa sinambung dengan di rumah.

Ketika beranjak ke SMP, maka pertimbangan kami sedikit berbeda.

Kami masukkan anak-anak ke sekolah negeri. Kenapa? Kami ingin mereka punya lingkungan yang lebih beragam, baik positif maupun negatif. Di situ ada banyak peluang buat memperkaya hati dan pikirannya. 

Anak akan bertemu dengan teman yang agamanya beda, berarti dia akan belajar toleransi. Anak mungkin ketemu dengan teman yang suka mem”bully”, maka dia akan belajar cara2 survive. Anak akan bertemu dengan teman yang berstatus sosial beda, mungkin ada anak satpam, anak direktur, anak dokter terkenal, dsb. Di situ dia akan belajar tentang keragaman. Ada banyak mungkin-mungkin lain yang rasanya sulit dijumpai jika dia tetap bersekolah di sekolah IT. Agama sudah jelas sama, status sosial cenderung homogen, guru-guru yang amat care. Anak perlu sedikit keluar dari zona nyamannya.

Di sisi lain, karena ia sudah punya bekal tentang agamanya di SD, maka kami tidak terlalu kesusahan buat ngingetin mereka. Beberapa kali Kaka ditugasi tadarus atau jadi imam shalat berjamaah di SMPnya. Bukannya mau muji sendiri hehe, tapi ketika konsultasi dengan wali kelasnya, maka kesimpulan utama mereka adalah: Kaka tak ada masalah dan sudah mulai muncul berbagai potensinya, seperti jiwa kepemimpinannya. Rasanya bersyukur banget, kami sudah bekali dia pondasi yang semoga cukup buat selalu recharge sampai dia besar nanti.

Lingkungan sekolah.
Aku berusaha mencari sekolah yang cukup punya lingkungan terbuka, sehat, dan hijau. Ini berlaku ketika memilih SMP. Ada beberapa sekolah baik yang ada di lingkungan pasar atau padat, maka itu langsung aku coret dari alternative hehe. Aku tak mau, anakku tercemar Pb akibat emisi sumber bergerak/transportasi (haha.. naluri TL). Belum lagi, ruang terbuka buat anak berinteraksi dan beraktivitas motorik. Kadang liat beberapa sekolah, aku langsung eungap haha.. karena ruang terbukanya cuma sepetak taman di tengah dikelilingi ruang kelas berlantai tiga.

Akses.
Anak harus belajar mandiri. Setelah pertimbangan lingkungan, maka jalur angkot yang lewat sekolah jadi poin selanjutnya. Kaka dulu sekolah cukup dengan satu kali naik angkot lalu jalan sekitar 100 meter. Pulangnya turun angkot, jalan 300 meteran sampe deh ke rumah. Cuma kadang-kadang aja dia dianter atau bareng aku ke kantor, karena aku mesti gedombrangan dulu nyiapin adiknya sekolah. Mungkin tega ya, tapi gapapa. Sekali-kali dia harus dibenturkan dengan sedikit “kesengsaraan” haha.. 

Nah, itu beberapa pertimbangan penting ketika aku memilih sekolah buat anak-anakku. Cekidot..

Tentu lengkap dengan doa semoga ia dapat berkembang sesuai harapan.

Rabu, 05 Juli 2017

Ema, Ibu Terbaik buat Aku

Ema

Tiga huruf itu adalah panggilan ibuku tersayang dari kami anak-anaknya. Ema dalam bahasa Sunda berarti Ibu.

Sampai detik ini, setiap mengingat sosok Ema, selalu ada rasa perih di hati. Perih karena mungkin semasa hidupnya, aku belum berbuat yang terbaik untuknya. Kadang timbul rasa penyesalan, walau kutahu itu tak berguna. Segera kulafazkan Al Fatihah beserta serangkaian doa untuk almarhumah.

Sebagai tanda cintaku pada Ema, kucoba tuliskan semua hal tentang beliau, sosok penyayang plus melankolis yang suka segala sesuatu berjalan baik dan rapi.

--

Istri

Sebagai istri Apa, Ema selalu memastikan Apa gemah ripah loh jinawi hehe. Salah satu contohnya adalah pakaian. Setiap pagi, baju Apa sudah siap, dari mulai pakaian dalam sampai kemeja dan celana panjang yang Ema padu padankan. Berhubung baju kerja Apa terbatas, maka Ema selalu pastikan jadwalnya sesuai supaya ketika masuk mengajar di kelas yang sama, baju Apa berganti, tidak itu-itu saja hehe.

Hasil cucian dan setrikaan Ema mungkin bisa disandingkan dengan hasil laundry mahal. Bersih wangi walaupun tanpa pewangi, trus rapii jaliii… kalo dipegang itu angeett gituu.
Ema hafal banget dengan jumlah pakaian Apa. Jika ada yang mulai sobek sedikit, Ema langsung menisiknya dengan rapii sampai tak terlihat. Dan selalu ada baju cadangan untuk Apa, entah itu baju dalam ataupun kemeja, yang disimpan di tempat khusus di lemari.


--

Ibu

Aku anak keempat sekaligus satu-satunya anak perempuan. Ada satu masa ketika aku merasa lebih dekat pada Apa, ayah kami. Waktu SMP, aku bahkan pernah diajak Apa nonton Persib di Stadion Siliwangi haha.

Lalu ada masanya ketika hubungan aku dan Ema begitu mesra. Itu terutama terasa ketika aku telah lulus kuliah dan mulai belajar kerja. Setiap Sabtu aku pulang, di rumah Ema sudah masakkan makanan kesukaanku dan kami bisa ngobrol berjam-jam cerita ini itu.

Tapi ada masanya juga, ketika kami berdebat cukup panas akibat saling ngotot dengan pendapat masing-masing. Ini sering terjadi ketika aku sudah menikah dan punya anak. Aku merasa sudah dewasa dan berhak punya pendapat sendiri. Sementara Ema mungkin masih beranggapan aku anak bungsunya yang masih perlu dibimbing.

Dulu ketika lulus SMA, Ema pengen aku jadi guru. Jadi guru, tak perlu tiap hari ke sekolah, anak libur sekolah kita ikut libur. Guru jaman itu tak perlu ke sekolah tiap hari. Ke sekolah terutama ketika ada jam mengajarnya atau ada rapat guru. Tapi kala itu, dengan pedenya aku menggeleng. Pengen jadi insinyur.

Padahal sekarang setelah punya anak, baru terasa betulnya pertimbangan Ema. Anak-anak masih libur tapi aku mesti ngantor. Waktu kecil, mereka sering kubawa ikut ke kantor. Sekarang setelah besar, kadang mereka manyun karena aku mesti ngantor sementara mereka pengen liburan deket-deket emaknya.

Tekanan pekerjaan juga tentu berbeda antara kantoran macem aku dengan guru. Kalo ketemu guru anak-anakku, kok rasanya hidup mereka damaiiii yaaa. Plus ladang pahala ketika ilmu yang kita ajarkan itu diamalkan anak-anak didik kita.

Tapi apakah Ema atau Apa paksakan kehendak? Tidak.

Dengan sepenuh hati, mereka dukung aku capai cita-cita itu.

Terutama untuk urusan sekolah, kalo kata basa Sunda mah: hulu dijieun suku, suku dijieun hulu. Dengan segala daya upaya, kebutuhan sekolah anak-anaknya selalu mereka upayakan. Guru masa itu belumlah sesejahtera masa kini, dengan apresiasi semacam sertifikasi dsb. Alhamdulillah keempat anaknya kuliah di perguruan tinggi negeri jadi tak terlalu berat.

Ema bilang berkali-kali. Tugas utama anak-anaknya adalah belajar. Karena Ema dan Apa tak bisa wariskan harta, cuma ilmu yang bisa mereka wariskan. Ya ilmu.
Prinsip yang sampai sekarang selalu aku pegang dan aku teruskan ke kedua anakku. Dengan ilmu, hati dan pikiran kita menjadi luas. Dengan ilmu, cara beragama kita menjadi lebih bijak.

Satu prinsip Ema yang terus membekas di hati adalah memastikan anak-anaknya cukup makan dan sandang. Setelah dewasa, aku baru perhatikan, Ema selalu “ngaduakeun huap”. Belum akan makan sebelum anak-anak dan suaminya cukup kenyang. Belum akan beli baju baru sebelum anak-anaknya punya baju baru. Baju baru kami hanya dibeli setahun sekali jelang Lebaran. Sepatu baru hanya dibeli ketika kami naik kelas. Tapi kok itu ga bikin kami minder yaa hehe enjoy ajaahhh..

--

Guru

Ema seperti halnya Apa, adalah guru. Bermula dari guru SD selama puluhan tahun, guru bahasa untuk kelas 1. Kami anak-anaknya juga diajar Ema, lengkap beserta segala kelucuannya haha.. Di kelas, kakakku pernah mengacung dan refleks panggil: Emaaa haha bukannya bilang bu guru.

Ema mengajar anak unyu-unyu itu sejak dari mengenal abjad. Pengenalan abjad itu ternyata ada tahapannya, huruf mana yang dikenalkan lebih awal lalu bertahap ke kumpulan huruf lainnya. Kala itu, di TK memang tidak diajarkan membaca seperti sekarang. Lalu menulis pun diajari bertahap. Satu kumpulan huruf dulu lalu sekumpulan huruf lainnya. Ternyata dalam membaca dan menulis itu memang disesuaikan dengan perkembangan anak, ada ilmunya. Tidak sembarang. Mungkin tak banyak orang tahu yaa hehe..

Lalu, ketika SD itu “dibubarkan”, Ema terpaksa menjadi “guru mahasiswa” atau dosen. Hal yang berulang beliau katakan bahwa jadi dosen tidak menyenangkan, jadi guru SD jauuhh lebih asyik baginya.

Itu beliau jalani sampai pensiun.

--

Sederhana

Aku rasa Ema adalah salah satu orang paling sederhana di muka bumi ini.

Ketika para tetangga punya kompor gas, Ema masih setia dengan kompor Toyoset nya, yang kudu dicek lalu diganti sumbunya secara berkala. Berhubung Ema orangnya apik banget, maka tuh kompor awet banget. Kompor gas beserta tabungnya baru bertengger di dapur kecil kami ketika aku SMA. Haha….

Belum lagi kulkas. Walaupun anak-anaknya merengek minta beli kulkas akibat iri liat temennya bisa makan es bikinan sendiri. Tapi Ema keukeuh peuteukeuh. Kulkas baru ada ketika kakakku udah kerja trus beliin kulkas, itu pun second.

Plus beliau sebetulnya punya jiwa ke-TL-an lebih dari anaknya hihi.

Air cucian beras tidak pernah dibuang, selalu Ema tampung buat siram tanaman kuping gajah kesayangannya. Alhasil kuping gajah di pot itu jadi bagus banget, daunnya lebar dan berkilau gitu deh keknya. Air bekas wudlu pun beliau tampung lalu dipakai buat siram rumput di halaman depan rumah.

--

Rapi



Ema orangnya suka kebersihan dan kerapihan. Walaupun rumah kami amat sederhana, tapi selalu bersih. Lantai semen tak berkeramik tapi selalu licin bersih, kamar mandi selalu bersih dengan bak dan lantai yang rutin dibersihkan, halaman rumput yang selalu disapu tiap pagi. 

Setelah berumahtangga, nilaiku dalam kebersihan dan kerapihan mungkin merah di mata Ema haha.. Jujur aku tak suka bebenah.

Ketika Ema dan kemudian Apa wafat, kami mulai bongkar lemari Eni dan lalu takjub. Betapa rapinya Eni. Surat-surat dari kakakku yang kuliah di Bogor masih ada, foto-foto kala kami kecil, bahkan undangan reuni SD angkatanku masih ada di lacinya.

Piring mangkok dan wadah-wadah jadul masih tersusun rapi di lemari. Alhamdulillah aku jadi dapet banyak warisan alat rumah tangga yang masih bagus walaupun sudah bertahun-tahun tak dipakai.

---

Rasa sayang

Jujur, Ema bukanlah orang yang someah atau langsung banyak senyum ketika baru kenal seseorang. Mungkin bahkan ada orang yang menganggap beliau sedikit judes hehe. Taapii, jangan tanya kalo beliau udah sayang sama seseorang. Sampai kapanpun beliau bakal inget orang itu, kalo punya sesuatu yang orang itu suka pasti beliau sisihkan buat dikirimkan. Ema penyayang dengan caranya sendiri.

--

Aku

Ada beberapa masa dalam hidupku ketika dukungan Ema begitu terasa nyeess ke hati ini.
Ketika Tugas Akhir S1, entah kenapa kala itu aku terkena stress yang cukup parah. Ga bisa tidur, ga mau makan, sampai kuruusss. Mungkin ada turun berat badan 10 kg.  Stress akibat takut ga bisa beresin TA.

Tak banyak orang yang tahu, kala itu setiap malam aku baru bisa tidur di pelukan Ema. Ema tak pernah memarahiku dan bertanya kenapa aku bisa bertingkah seaneh itu, yang beliau lakukan cuma satu: memeluk aku sepanjang malam.

Lalu buat urusan asmara ahaayyy…. Aku termasuk telat untuk urusan asmara atau cinta cintaan ahaayyy. Kala SMP, aku cukup ngeceng seseorang dari kejauhan, tanpa berani mendekat. Kala SMA juga begitu, walaupun ada kemajuan sedikit. Ada satu dua orang yang nyatain (nembak kali ya jaman now mah haha) tapi sayangnya yang nembak bukan yang dikeceng. Hahaha..kasihan kasihan kasihan (upinipin).

Aku jatuh cinta lalu pacaran betulan ketika kerja di suatu kantor. Jatuh cinta yang penuh derai air mata akibat banyak kebodohan. Baper to the max pokoknya deh.

Tapi apa reaksi Ema? Ema tak pernah melarang aku berhubungan dengan doi. Walaupun mungkin dalam hatinya, beliau tak sepenuhnya setuju. Ema dan Apa seperti menggiring aku (tanpa sadar) supaya kepentok sendiri baru kebangun. Ema tahu kalo aku dilarang, pasti aku akan melawan dengan berbagai cara.

Dan akhirnya itu berakhir dengan baik. Setelahnya aku baru tersadar: betapa begonya gueee!!!! Tapi mungkin memang begitu jalan yang harus aku lalui, naik turun dalam rangka belajar dewasa.

Lalu tiba masanya ketika aku merasa sudah cukup dewasa dan tidak suka beliau turut urun pendapat. Lalu merasa berhak untuk berdebat panjang dan mungkin berani bicara dengan nada tinggi. Pada ibuku. Ibuku yang telah mengandung 9 bulan dengan susah payah. Ibuku yang telah mendidik dan merawatku sampai dewasa. Ibuku yang rela mengasuh kedua buah hatiku pada masa tuanya yang mestinya “disenangkeun”.

Nauzubillaah. Hapunten anu kasuhun, Ema.

Kadang ingin rasanya bertanya, apakah sebagai anak aku telah lakukan yang terbaik buat Ema dan Apa. Namun tanya itu cuma bisa aku bisikkan dalam doaku. Semoga apa yang telah aku capai bisa buat mereka bangga.

Khusus buat Ema, ibuku tersayang. Sampai hari ini, kadang masih timbul rasa sesal, betapa masih banyak peerku sebagai anak. Betapa “culangung”nya aku. Pengorbanan beliau buat aku dan anak-anakku tak kan terbalas sampai kapan pun.

Buat aku, Ema adalah ibu terbaik.
A devoted wife, a loving mom, a dedicated teacher.

Haturnuhun Emaaa...


*menulissambilmrebesmili