Kamis, 09 Februari 2017

Maafkan dan Lupakan

Selembar kertas putih, bersih, tak bernoda. Tiba-tiba tak sengaja  satu titik tinta hitam terpercik di atasnya. Apa yang kita lakukan? Biasanya kita berusaha menghapusnya. Kadang mudah, namun seringkali sulit. Bahkan tidak jarang usaha kita itu malah membuat kertas itu robek dan tak utuh lagi.

Apakah hal itu bisa kita analogikan dengan hati kita? Dalam berbagai hubungan pertemanan, persaudaraan, tetangga, lalu salah satu berbuat khilaf, sadar ataupun tidak. Lalu kita tidak bisa menghapusnya dari hati kita, membiarkannya terus bermuara memenuhi hati dan benak kita, dan tidak sisakan sedikit ruang berimbang untuk terisi kebaikan dia?
--

Kenangan atau pengalaman hidup kita di dunia ini, ada dua: baik dan buruk. Kenangan buruk bisa disebabkan banyak hal, di antaranya akibat perlakuan, sikap, kata-kata atau perilaku orang lain yang sakiti hati kita.

Ada orang yang punya kecenderungan untuk memelihara kenangan baik, indah, menyenangkan dan tidak mempedulikan kenangan buruk.  Orang ini biasanya tampak gembira, optimis, cuma kadang mungkin kurang perhitungan. Ada juga yang mampu menyeimbangkan keduanya, biasanya pengalaman tidak baik ia jadikan cermin agar tidak mengulang hal yang sama. Namun, ada pula orang yang tanpa sadar, tanpa sengaja, suka menyimpan kenangan tentang kesalahan orang lain itu, lamaaa dan sedemikian dalam.

Dan salah satu orang itu adalah kamu. Ya, kau, kamu, anda.

Kamu suka menyimpan dan mengenang kesalahan orang lain.

Ada kesalahan dia yang selalu kamu ingat-ingat, kamu simpan dengan baik di dalam memorimu, sejak lama dan tampak semakin dalam. Kenangan buruk itu sewaktu-waktu kamu ungkit-ungkit atau ledakkan pada waktu yang kamu rasa tepat.

Namun ada yang aneh (atau mungkin sisi baiknya?), kamu menyimpannya bukan untuk memupuk dendam. Kenangan itu justru buat kamu merasa tidak nyaman, minder, sedih berkepanjangan, merasa tidak berarti, merasa kecil hati. Bertanya-tanya dalam hati, kenapa? Kenapa dia tega lakukan itu padaku? Padahal aku tidak punya salah apa-apa. Aku sudah berbuat baik, dll dsb dst.

Padahal semakin lama kau simpan rasa itu dalam relung kalbu dan benakmu, maka niscaya ia akan muncul lagi dan lagi, seperti menghantui.  

Ingin rasanya aku ajak kamu merenung, dengan hati tulus dan pikiran kosong. Aku tanya satu hal saja. Siapa orang yang dalam benakmu pernah berbuat salah itu, dia atau kamu? Dia kan?

Lalu mengapa kamu ijinkan pikiranmu me-reverse nya menjadi “kekurangan-kesalahan-ketidakmampuan-ketidakberdayaan”- dirimu sendiri?  Membuat kamu merasa perlu menarik dan menutup diri bahkan menolak lagi berkontak dengan dia?

Yang salah itu dia, bukan kamu. Seberapa besar seberapa dalam rasa itu, aku percaya tidak akan mampu membuat kesalahan itu hilang. Kesalahan itu benar pernah ada, pernah terjadi, mungkin berkali-kali. Namun seberapa kali pun dia meminta maaf dan mencoba menebus kesalahannya, tampaknya itu tidak berarti bagimu.

Kamu yang lebih paham ilmu agama dari aku pasti tahu: maka yang paling berhak untuk membalasnya adalah sang Maha Pembalas, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Jika Allah berkenan buat sesuatu, maka sungguh Allah tak perlu peranmu.

Tapi, mari kita tengok lagi hatimu, apakah betul ia telah sedemikian bersalahnya? Tak ada lagikah ruang dalam hatimu untuk memaafkannya? Tak adakah kebaikan dari dirinya? Sekecil apapun itu? Walaupun satu titik kebaikan? Satu titik pun?

“Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji zarah, niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barangsiapa yang melakukan keburukan  sebesar biji zarah, niscaya ia akan menerima balasannya.” (QS Az-Zalzalah: 7 -8)

Tolong, jangan timbun rasa itu menjadi makin menebal di dalam hatimu. Sampai kapan kau mampu terbebani? Makin lama niscaya makin terasa berat, dan membuat hidupmu makin menjadi sempit. Mari kita semua move on. 

Maafkan ya saling maafkan. Satu kata ajaib yang pasti akan buat hidupmu jadi jauuuh lebih lapang. Hidupnya pun akan jauuuh lebih ringan. Dimaknai dari kalbu nurani yang akan buat hubungan kalian tersambung kembali dengan hangat bahkan tak jarang penuh debat. Seperti dulu. Bukan cuma basa basi. Di luar sana, masih banyak sekali hal-hal indah yang perlu kita nikmati dan rayakan, bersama.

Mulai saat ini, mari kita bersama belajar dua dari dua hal.
Yang pertama dua hal pada diri kita:
“Lupakan, ya lupakan kesalahan orang lain pada diri kita, dan kebaikan kita pada orang lain.”
Yang kedua adalah dua hal yang harus senantiasa kita ingat:
“Ingatlah kesalahan yang pernah kita lakukan pada orang lain, dan kebaikan yang orang lain lakukan pada kita.”

MAAFKAN DAN LUPAKAN.



7 komentar:

  1. Aku skrg lagi memendam marah dan kesal pd om aku. Dia menghina core value dan menyepelekan apa yg aku lakukan. Dan ia, tdk tabayyun, hanya ngomong di belakang. Dia membuat distraksi. Alhasil aku pun begitu. Coba kalau ngomongnya di depan, aku bisa berargumen.
    Dan s.d sekarang dia memilih masa bodo, yg penting tidak ada cekcok mulut.
    Dan itu justru salah... Ikatan yang putus itu harus disambungkan dg usaha yang ekstra kuat dan berani. Dan aku tidak berani. Takut core value aku semakin diinjak.
    *malah nge blog di kolom komentar.... Wkwkwkwk...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwk....

      Itu poin bagus Chik, ikatan yang putus harus disambungkan dengan usaha ekstra kuat & berani.

      Hapus
  2. "Mari kita semua move on."
    --- mariii, biar dunia jadi lebih indah dan tenang 😊

    Salam, Tatat

    BalasHapus
  3. Emang kadang masih susah move on...

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus