Selasa, 30 Oktober 2018

Mencoba Menghitung Ni’mat


Kala ditimpa musibah atau cobaan, sering aku merasa paling malang sedunia. Dikasih sakit sedikit, merasa sakit parah banget. Dikasih kesulitan rejeki, langsung merasa paling miskin. Dikasih masalah sedikit, buru-buru curcol ke sana kemari cari-cari pelampiasan bukannya cari solusi.

Padahal jika sebentar saja merenung, sebetulnya cobaan aku itu ga seberapa dibandingkan orang lain di luar sana. Di sisi lain, betapa tak berartinya cobaan yang mungkin cuma seupil itu dibanding nikmat yang jauuhh lebih banyak lagi.

Jadi, baiklah aku coba menghitung nikmat yang telah Allah karuniakan. Dimulai dari keluarga.

Suami
Sewaktu menikah, kami tidak melewati masa pacaran. Minggu ini dia datang ke rumah, 2 minggu kemudian melamar, bulan depannya akad nikah. Suamiku orangnya pendiaaam bangeet, plegmatis. Sementara aku makin lama makin keluar sifat sanguinnya. Hehe betul adanya ya kalo pasangan itu saling melengkapi.

Dia idak merokok, tidak pernah bertingkah aneh, tidak pernah punya satori dengan perempuan lain, ga pernah neko-neko. Mau berbagi segala hal, bantuin masak (nasgor Ayah favorit anak2: katanya enyaakk), momong anak (waktu kecil mandiin nyuapin sebisanya) dan sebagainya.

Aahhh, pokona kesimpulanna bageur.
Nikmat pertama.

Anak-anak
Kami diberi amanah dua anak laki-laki. Yang sulung baru masuk kuliah Agustus lalu, yang bungsu kelas 2 SMP. 

Sejak SD, keduanya dikenal guru-guru sebagai anak baik & tak pernah bermasalah. Setiap bagi rapot, aku selalu bertanya pada walasnya: apakah mereka ada masalah dalam akhlaknya, interaksi dengan teman dan guru. Jawaban para walas selalu tidak ada bu. Pelajaran secara umum bisa mengikuti, ekstarkurikuler juga cukup aktif, dan beberapa kali dapet kesempatan ikut lomba ini itu mewakili sekolahnya.

Karakter mereka bisa dibilang mewarisi campuran antara aku dan ayahnya. Si sulung pendiam seperti ayahnya tapi kalo belanja mirip aku haha. Yang kecil periang kayak aku tapi selalu hemat persis ayahnya.

Buat kami, mereka anugerah terindah yang tak ternilai. qurrota a'yun.
Nikmat kedua.

--

Ternyata baru mengingat dua nikmat saja, sudah lebih dari 1 halaman tulis ya. Jadi betul adanya, setiap cobaan atau musibah itu hanya setitik debu dibandingkan berjuta nikmat yang telah Ia anugerahkan kepadaku.

Jadi Ani, sadarlah: setiap kamu diberi ujian, itu karena Allah sayang kamu. Allah rindu kamu berdoa, memohon hanya pada-Nya. Allah ingin kamu naik kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar