Minggu, 20 November 2016

Wilujeng angkat, Mang…..

(didedikasikan buat Mang Muhya, satu sosok teramat sederhana namun tak ternilai jasanya bagi keluarga kami)
--

Dua hari menjelang akhir diklat-ku di Jogja, aku dikejutkan kabar di WA grup keluarga dari kakak sulungku, kabarkan wafatnya mang Muhya, salah seorang famili kami di Sumedang, kampung kami.
Innalillaahi wa inna ilaihi roojiuun. Ya Allaah, gemetar rasanya sekujur tubuh ini. Kaget sedih nyaris tak percaya.

Ketiga kakakku langsung inisiatif, mengatur ini itu, siapa yang duluan berangkat ke Sumedang, bantuan pemakaman, berbagi tugas, dan lain-lain. Sementara aku masih tercenung, sendirian di kamar, pada jarak yang jauh. Dalam hati terucap doa untuk Mang Muhya sambil terisak.
----

Mang Muhya adalah keluarga jauh dari ibuku almarhum. Lahir, berkeluarga, dan tinggal di dekat rumah nenekku, nun jauh di suatu kampung bernama Burujul di Kabupaten Sumedang. Sewaktu kecil, yang aku ingat, bi Odah istrinya adalah orang yang selalu ada di dapur Nini (nenek kami) membantu beliau wara wiri pekerjaan di dapur dan di sawah.

Ketika Nini sudah wafat, Ibu makin sering ke Sumedang untuk mengurus berbagai hal. Menemani ibu, aku jadi lebih sering ketemu keluarga bi Odah dan mang Muhya.  Mengobrol berbagai hal tentang mengurus sawah sambil siduru di hawu (berkumpul di dapur dekat anglo), ngabubuy sampeu atau hui atanapi meuleum ulen (manggang ketan). Nikmaatt...  (ngabubuy apa yaa padanan katanya dalam bahasa Indonesia, haha silahkan googling).

Mang Muhya dan bi Odah adalah keluarga jauh Ibu dari Nini, tapi aku juga tidak ingat bagaimana pancakaki (hubungannya). Dua sosok sederhana tapi amat sangat bisa diandalkan, membantu berbagai hal pada keluarga kami.

Saking sederhananya, baju yang sehari-hari mereka pakai mungkin hanya dua atau tiga setel.  Itu pun kadang aku perhatikan baju-baju lungsuran Apa (ayah kami) atau kakakku. Makan sehari-hari cukup dengan tahu tempe, asin dan lalap sambel. Bukan tak mampu menurutku. Mereka sendiri punya beberapa petak sawah, balong, dan kebun, juga beternak ayam. Tapi ya itu, karena tidak biasa makan berlebihan dan merasa cukup dengan yang ada.

Yak, sederhana, satu contoh buat kami dan hal pertama yang melekat di ingatanku.

Buat kami, mereka jauuuh lebih dekat dari sekedar famili jauh. Setiap kami perlu bantuan mereka, pasti tak ragu langsung singsingkan tangan. Kepentingan mereka sendiri sering dinomorduakan. Kadang kami tidak perlu katakan apa-apa, mereka sudah paham apa saja yang perlu dilakukan.

Jika kami mudik, begitu datang, mereka langsung sibuk sana sini siapkan macam-macam, tanpa kami minta. Bahkan kadang kami larang karena khawatir merepotkan. Kadang kami sengaja tidak memberi kabar mau datang tapi yang ada malah seperti disalahkan karena mereka jadi merasa tidak siap.

Sangu akeul haneut, goreng ayam kampung dadakan, lalap sambel, segera tersaji di meja. Dampak negatifnya adalah aku kalo makan pasti nambah nasi haha.. gawaat... tidak mendukung diet ini mah.
Jika kami belum selesai makan, mereka pasti belum makan. Walaupun kami sering ajak makan bersama. Tapi rasanya tidak pernah mereka mau. Mereka makan ketika kami sudah selesai makan.

Namun dengan keistimewaan yang kami dapat, ibu bapak selalu tanamkan bahwa mereka itu 
keluarga.  Ya, keluarga. Buat aku, mang Muhya dan bi Odah ya adik ibuku. Anaknya Ujang Ayet dan Ai, ya adik-adikku. Kami sudah ga sungkan-sungkan bercanda, kadang Ujang memberi saran atau bahkan kritik yang menggelitik.

Hal kedua yang melekat di hati, keluarga jauh tapi terasa dekaat sekali.

Ada satu hal lain yang bikin aku terkagum-kagum.  Mang Muhya amat rapi menyimpan administrasi dan amanah mengelola titipan Aki dan Nini. TItipan yang tidak banyak, Cuma sepetak dua petak sawah dan beberapa kebun dan kolam. Tapi mang Muhya selalu mencatat semua kegiatan, pengeluaran dan pendapatan dalam satu buku besar. Rapiiiii banget. Lengkap dari mulai tanggal, berapa volumenya, keterangan, dan rupiahnya.

Amanah. Satu contoh lain buat kami. Hal ketiga.
--

Tahun lalu Mang Muhya mulai sakit. Mengeluh sering sakit kepala dan telinga berdenging. Berobat ke dokter lalu dirujuk ke rumah sakit kecil di kota Sumedang. Lalu dioperasi.

Kami yang baru tahu setelah dioperasi, langsung ngananaha (menyalahkan dengan khawatir/sedih): kenapa ga pernah berkabar waktu sakit awal. Kan bisa coba konsul ke dokter yang lebih ahli di Bandung. Bahasanya lagi-lagi: ah wios, alim ngarepotkeun (ga papa, tidak mau merepotkan).
Tadinya kami tidak paham apa itu operasi. Ternyata setelah menyimak cerita Ai anaknya. Itu tampaknya tindak biopsi. Dengan hasil diagnosis kemungkinan kanker. kami terkaget-kaget waktu itu dan langsung diskusi keluarga supaya mau berobat lebih lanjut.

Akhirnya setelah dibujuk dengan berbagai cara, mang Muhya bersedia berobat ke ke RSHS di Bandung. Semua treatment yang diinstruksikan dokter, ia jalani dengan penuh semangat. Kadang memang mengeluh, tapi tekadnya tetap kuat: hoyong damang (ingin sembuh). Singkat cerita, paket kemoterapi dan radiasi diselesaikan sampai tuntas. Kedua anaknya tak tanggung-tanggung mengurus ayahnya ini wara- wiri ke RSHS dengan BPJS yang terbukti memang menguji kesabaran sang pasien.

Hal keempat buat renunganku, sabar dan ikhlas ketika sakit.

(Ada satu hal yang kadang aku sesali sekarang. Janjiku waktu itu untuk temani berobat ternyata tidak bisa aku tepati. Karena jarak dan kesibukan di rumah dan kantor, cuma bisa pantau dari jauh, via grup keluarga atau telpon Ujang.)

Tiga bulan lalu, aku pulang mudik waktu Iedul Adha. Mang Muhya baru selesai paket kemoterapinya. Alhamdulillaah, wajahnya segar dan bisa ngobrol macam-macam. Waktu aku datang, ia sedang sibuk di gudang, kutrak ketrek betulin pacul dan perkakas lainnya. Walaupun badannya kurus tapi wajahnya segar. Mengobrol dengan seru dan semangat.

Ternyata kali itulah terakhir aku ketemu dengannya.
---

Sabtu tanggal 29 Oktober pulang diklat, hari Minggunya langsung aku menuju kampung. Pengen ketemu bi Odah, Ujang, dan menengok makam mang Muhya. Begitu ketemu bi Odah, aku peluk dia. Tidak ada kata-kata keluar. Tapi setelah ngobrol beberapa kata, mulai mengalir air matanya sambil tak lepas memandangku. Hiks aku langsung nangis juga. Dan berpelukan lah kami sambil bertangisan. Katanya: kunaon bet angkat, pan kamari tos sehat (kenapa malah pergi, kan udah sehat). Duh sedih banget aku melihat tatapan matanya….

Setelah bi Odah reda. Aku coba ngobrol sama Ujang anaknya. Dengan tegar, Ujang bercerita kronologis sakitnya sampai wafatnya. Ternyata setelah paket kemoterapi, seharusnya mang Muhya kontrol lagi ke RSHS. Tapi dibujuk-bujuk, ia tidak mau. Kakakku termasuk yang usaha membujuk bahkan sampai menjemput ke kampung tapi ia menolak.

Mungkin itu penyebab fisiknya lalu drop kembali. Ketika ada yang dirasakan kembali, ia tidak mengeluh pada istri dan anak-anaknya. Ketika sudah parah, Ujang bercerita sambil mimik kesal: ku naon atuh bapa teh teu nyarios? Pan Ujang bisa usaha ngubaran (kenapa bapa ga cerita kan kita bisa cari jalan untuk berobat lagi), mukanya sedih dan langsung air matanya keluar. Pan bapa embung ngaripuhkeun wae anak (kan bapak ga mau merepotkan anak terus menerus), begitu jawabnya.
Kami pun bertangisan lagi.

Bagian terakhir obrolan kami, ada satu hal lagi yang juga berkesan buatku.

Ujang berkata: Teh, abdi mah emut pisan baheula pesen Bapa waktos uwa Yoyoh (ibuku) pupus. Ujang teh pan sedih teras nangis. Saur bapa, ulah diceungceurikan, kudu ikhlas, bisi almarhumah beurateun. Kudu ingetna uwa teh siga biasa bade mulih ka Bandung. Urang cukup nyarios, uwa wilujeng angkat, mugi-mugi salamet dugi tujuan.
Tah kitu teh, ayeuna oge pami Ujang mimiti sedih emut ka Bapa. Emut eta we. Jadi dianggap bapa teh bade angkat we ka mana kitu: wilujeng angkat pa, bari ngagupaykeun panangan, ati-ati di jalan.

(Teh, Ujang ingat pesan Bapa waktu wa Yoyoh wafat. Ujang ulah nangis, harus ikhlas, supaya almarhumah diringankan jalannya. Anggap saja uwa mau pulang ke Bandung seperti biasa. Cukup ucapkan: selamat jalan wa, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan.
Sekarang juga kalau Ujang sedih ingat bapa, ciptakan saja bapa mau berangkat ke kota, cukup lambaikan tangan dan ucapkan selamat jalan.)

Aah… begitu sederhana kata-katanya tetapi dalam maknanya.
Hal kelima yang paling berkesan buatku.
---

Wilujeng angkat mang Muhya.
Mugi-mugi husnul khotimah, ditampi iman Islam-na, dihapunten sagala kalepatanna, dicaangkeun alam kuburna.

Haturnuhun kana sagala kasaean mamang ka kulawarga abdi sadaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar