Sejak lima tahun terakhir, ketika masuk bulan April lalu
Mei, perasaanku pasti jadi mellow mengharu biru. Dua masa
ketika rasa kosong di hati ini tiba-tiba menyergap.
April tanggal 23 tahun 2012 ketika Eni, ibuku wafat dan Mei
tanggal 17 tahun 2014 ketika Aki, ayahku wafat.
Eni, kompas keluargaku
Eni adalah sebutan kesayangan kami semua setelah satu demi satu cucu lahir, diambil dari kata nini dalam basa Sunda yang berarti nenek.
Mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya, Eni lebih
banyak habiskan waktu untuk kedua cucunya dari aku. Abil anak pertamaku dimomong
Eni sejak bayi, bahkan sejak sebelum lahir. Eni yang tunggui ketika aku
lahirkan Kaka karena sang Ayah masih beda kota. Lalu anak keduaku, Dude Ilman pun
tak lepas dari momongan Eni.
Eni yang atur semua jadwal anak-anakku sejak mereka lahir.
Jadwal minum susu, jadwal mandi, jadwal bobo, dll hehe.. Teraturr pisaan,
emaknya mah tinggal ngikutin dan terima jadi aja. Hasilnya, mereka sehat
walafiat dan tumbuh jadi balita montok. Bahkan Eni pindah tinggal di Bogor ketika aku
hamil delapan bulan sampai Dude usia 2 tahun.
Ketika Eni pindah lagi ke Bandung, setiap aku telpon: “Eni,
damang?” maka jawabnya selalu “Sae”. Itu jawaban standar. Padahal kadang Eni
sebetulnya sedang kurang sehat tapi ga mau bikin aku khawatir.
Ketika fisiknya makin sepuh dan makin sering sakit-sakitan
sampai dirawat beberapa kali di rumah sakit, Eni sering bilang ga perlu
ditengok, katanya kasian anak-anak ditinggal. Tapi aku selalu usahakan luangkan
ke Bandung begitu tahu Eni dirawat. Kalo pas ga bisa sama anak-anak, aku langsung
meluncur sendirian. Ayah yang urus anak-anak. Pernah aku berangkat sore dari
Bogor langsung ke rumah sakit, aplusan jaga Eni walaupun cuma semalem, lalu
besoknya langsung balik lagi Bogor.
Eni pergi tanggal 23 April 2012. Tanggal yang sama dengan hari lahir kakak sulungku. Satu hal yang sampai kini masih suka bikin aku sesak adalah
ketika Eni pergi, aku tidak ada di sisinya. Rasa kaget, kehilangan dan
penyesalan buat aku nyaris histeris.
Ketika itu, aku baru tahu apa rasanya hati yang hampa. Rasanya
ada satu ruang kosong di hati ini. Hampa. Semua hal-hal kecil banyak yang
ingatkan aku pada sosok beliau. Hal-hal kecil seperti bentuk wortel, cara simpan
lap, lagu jadul, dll dsb.
Eni dulu selalu bilang, kalo pilih wortel jangan yang
ujungnya runcing, pilih yang ujungnya agak bulat (basa Sundanya buntet). Lalu
ajaran cara ngepel lantai, sampai sekarang itu yang aku ajarkan pada si bibi.
Jadwal kami ganti handuk masih sama ketika Eni masih ada: anak-anak setiap hari
Senin dan Kamis, aku dan ayahnya setiap Selasa dan Jumat. Dan semua itu masih aku praktekkan sampai sekarang. Mungkin
lucu atau lebay ya hehe tapi entah kenapa itu seperti otomatis dan aku tidak
merasa perlu untuk merubahnya.
Akibat hal-hal kecil itu, air mata ini sering ga bisa ditahan tiba-tiba mengalir ke pipi, tak jarang aku nangis tersedu-sedu sampai kudu ngumpet di toilet kantor. Dan itu berlangsung sampai beberapa bulan.
Eni adalah kompas buat keluarga kecil kami. Cara mendidik anak, disiplinnya, rasa tanggung jawabnya, baktinya pada suami, empatinya pada duafha, tegas dan teguh pada prinsip. Itu semua jadi pegangan yang selalu aku tekankan pada anak-anakku.
Aki, mercusuar kami
Selepas kepergian Eni, aku selalu merasa khawatir pada Aki.
Setelah diskusi dengan kakak-kakak, kami sepakat Aki pindah menetap di rumahku.
Masih ada anakku usia SD, yang bisa jadi penghibur Aki.
Di rumah, anak-anak nempel banget sama Aki. Mereka yang
temani Aki makan, temani Aki nonton acara favoritnya. Kalo nemenin nonton
berita, itu bagian Ayah. Kadang Aki cerita dongeng Sunda, Dude menyimak dengan
antusias. Favorit anak-anak adalah Jumatan sama Aki. Kadang dalam kondisi sesak
pun, Aki tetap usahakan Jumatan ke masjid walaupun agak jauh dari rumahku.
Pelan-pelan Aki jalan sambil ditemani Dude.
Tapi, masuk dua tahun setelah Eni wafat, aku perhatikan Aki
lebih banyak merenung atau lebih tepatnya melamun. Sambil duduk di kursi
panjangnya dengan TV menyala, tatapan Aki bukan nonton TV, tapi seperti kosong
dan pikirannya mengembara jauh entah ke mana. Sedih melihatnya, walaupun ga
cerita, aku tahu Aki pasti rindu Eni.
Aki wafat tanggal 17 Mei, di rumahku, pukul 10 malam. Waktu
itu, sudah dua hari Aki sesak nafas dan minta dipasangkan oksigen. Bodohnya aku, kufikir itu anfal biasa dan akan sembuh setelah Aki minum obat.
Malam itu Aki maksa minta wudlu ke kamar mandi, tentu saja
aku larang karena khawatir beliau sesak. Rupanya Aki ingin tunaikan shalatnya
yang terakhir kali. Jam 10 malam ketika Ayah ngecek Aki di kamarnya, ternyata Aki telah terkulai lemas. Kami langsung larikan Aki ke rumah sakit.
Masih jelas dalam ingatanku, begitu dokter di IGD pegang Aki
dan langsung gelengkan kepalanya. Langsung lemas lututku, tangis pun tak tertahankan. Aki telah pergi. Tenang
sekali perginya. Tanpa merepotkan kami.
Sampai sekarang, jejak Aki di rumah kami masih seperti Aki
masih ada. Kamar depan masih kami sebut kamar Aki, kursi panjang masih kami
sebut kursi Aki. Tumpukan majalah Mangle dan buku-buku kesayangannya masih
tersimpan rapi di rak. Dan banyak lagi. Rasanya Aki masih ada di rumah ini. Menghangatkan
keluarga kecil kami.
Aki adalah mercusuar buat kami. Kebaikan hatinya, kesukaan menolongnya, someahna (keramahannya), rendah hatinya, kelembutannya. Semua itu layaknya penerang buat kami anak-anaknya susuri jalan kehidupan ini.
---
Kini, ketika aku kirim doa buat mereka. Entah kenapa, dalam bayanganku,
di alam sana selalu ada malaikat di samping mereka. Malaikat yang disuruh
Allah buat jaga dan temani. Tanpa sadar aku berbisik: Malaikat, tolong
jaga mereka yaa dan sampaikan pada mereka, betapa aku rinduuuuu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar