Jabatan
sering dipandang sebagai sesuatu yang didambakan, diharapkan, diupayakan,
diimpikan atau bahkan dikejar dan diperebutkan.
Mengapa?
Bisa jadi karena
manusia perlu menunjukkan eksistensi dan
aktualisasi dirinya. Mungkin pula karena di situ terdapat
ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi dan kekuasaan.
Sehingga saat ini banyak
sekali orang yang meminta kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang
tersebut mempunyai kapasitas, kompetensi, atau kapabilitas untuk menjalankannya.
Sebagian
dari kita masih beranggapan bahwa jabatan identik dengan
anugerah. Ketika memperoleh jabatan, maka patut dirayakan. Padahal arti jabatan adalah pekerjaan
(tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (http://kbbi.web.id). Pada jabatan melekat tugas dan pekerjaan. Jadi bukan untuk
dirayakan tapi mestinya untuk direnungkan.
Sejatinya jabatan
bukan tujuan, melainkan hanya sarana, sarana untuk memperbaiki sesuatu, dengan tujuan akhir kemaslahatan
umat. Sebab itu, barang siapa yang telah mendapatkan sarana
tersebut namun tidak memanfaatkannya dengan baik, maka alangkah sayangnya. Sesungguhnya, ketika seseorang
menjabat, maka di situlah kesempatan baik untuk melakukan perubahan menuju
kebaikan. Sekecil apapun perbaikan itu,
niscaya akan ada manfaatnya kelak.
Dalam Islam, kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Namun sering kita dapati, pandangan orang bahwa
jabatan itu kekuatan namun lupa bahwa itu sekaligus adalah amanah.
Secara
bahasa, amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan). Amânah
(amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amânah
berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur
atau dapat dipercaya.
Secara
syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan.
Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan
apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan
hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)
Rasulullah
saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada
agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)
Barang
siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang
mudah berdusta dan khianat. Khianat dalam memenuhi hak-hak bawahan atau orang
yang dipimpinnya, khianat dalam menjalankan kewajibannya.
Jabatan juga
menuntut kekuatan iman. Islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah
orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang
mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.
Meminta-minta jabatan baik di pemerintahan maupun organisasi tidak diperbolehkan, apalagi ketika masih ada orang lain yang lebih
memiliki kemampuan dan kapasitas.
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang
yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, dan sesungguhnya
ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang menjalankannya
dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. Muslim).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Abu Dzarradhiallahu ‘anhu adalah beliau melarang Abu Dzar
menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan
membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang
didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia
menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi
mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga
jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat,
dia dapat menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala,
tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok
pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin,
2/472)
Kekuatan ini pun
amat berhubungan dengan kemampuan untuk amar makruf nahyi munkar.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu
‘anhu dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran,
hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya
dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya
itulah selemah-lemah iman.’.” (HR.
Muslim)
Hadits ini mencakup tingkatan-tingkatan
mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barang siapa
yang mampu untuk merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh cara itu. Hal
ini dilakukan oleh penguasa dan para petugas yang mewakilinya dalam suatu
kepemimpinan yang bersifat umum. Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran’ di
sini bisa dimaknai ‘melihat dengan mata dan yang serupa dengannya’ atau melihat
dalam artian mengetahui informasinya.
Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa
salah satu tugas dan tanggungjawab pemimpin atau pengemban jabatan adalah
beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah umatnya
dari kemungkaran.
Dalam Islam,
kualitas iman adalah kriteria pertama dan utama. Kekuatan ilmu dan pengetahuan
adalah kriteris selanjutnya. Namun sayangnya, kini pemahaman sebagian
masyarakat, jabatan itu berasosiasi dengan kekuatan materi dan status sosial.
“Sesungguhnya
Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah
ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)
Kepemimpinan
adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul
amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang
mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang
tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas
tersebut dengan semestinya.
Di samping itu, wajib bagi yang
menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya
dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.
Di sisi lain, jabatan yang kita inginkan atau perebutkan belum tentu membawa kebaikan. Padahal belum tentu, apa
yang ia kejar atau ambisikan itu baik untuk dia. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman,
“Bisa
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)
Referensi:
http://www.kompasiana.com/www.klikqr.com/islam-jabatan-dan-kekuasaan_552aec81f17e61c353d623ce
-----
Refleksi diri di tengah hingar bingar pergantian
jabatan yang ramai semua orang (nampaknya kecuali aku) perbincangkan.
Menjadi seorang pemimpin
dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari
mereka yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Baru aja kemarin pagi ngobrol sama temen | dia awalnya ga ambisi jadi pejabat ini itu, tapi ngeliat atasannya yang kemampuannya "biasa-biasa" aja dan ga punya kemampuan manajemen yang baik, dia akhirnya jadi kepikir untuk meraih jabatan tersebut.
BalasHapusDaripada dipegang sama yang ga bener. Cenah kitu teh
Salam kenal :)
BalasHapusJabatan oh jaabataaan ~~
Semoga kita selalu amanah utk tanggungjawab yg kita pegang aamiin
Jabatan sekarang katanya identik sama uang dan 'bibit', entahlah...
BalasHapus