Jumat, 23 September 2016

PENYERTA JABATAN

Jabatan sering dipandang sebagai sesuatu yang didambakan, diharapkan, diupayakan, diimpikan atau bahkan dikejar dan diperebutkan.
Mengapa? Bisa jadi karena manusia perlu menunjukkan eksistensi dan aktualisasi dirinya. Mungkin pula karena di situ terdapat ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi dan kekuasaan.
Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapasitas, kompetensi, atau kapabilitas untuk menjalankannya.
Sebagian dari kita masih beranggapan bahwa jabatan identik dengan anugerah. Ketika memperoleh jabatan, maka patut dirayakan. Padahal arti jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (http://kbbi.web.id). Pada jabatan melekat tugas dan pekerjaan. Jadi bukan untuk dirayakan tapi mestinya untuk direnungkan.
Sejatinya jabatan bukan tujuan, melainkan hanya sarana, sarana untuk memperbaiki sesuatu, dengan tujuan akhir kemaslahatan umat. Sebab itu, barang siapa yang telah mendapatkan sarana tersebut namun tidak memanfaatkannya dengan baik, maka alangkah sayangnya. Sesungguhnya, ketika seseorang menjabat, maka di situlah kesempatan baik untuk melakukan perubahan menuju kebaikan. Sekecil apapun perbaikan itu, niscaya akan ada manfaatnya kelak.
Dalam Islam, kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Namun sering kita dapati, pandangan orang bahwa jabatan itu kekuatan namun lupa bahwa itu sekaligus adalah amanah.
Secara bahasa, amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan). Amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya.

Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Khianat dalam memenuhi hak-hak bawahan atau orang yang dipimpinnya, khianat dalam menjalankan kewajibannya.

Jabatan juga menuntut kekuatan iman. Islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.
Meminta-minta jabatan baik di pemerintahan maupun organisasi tidak diperbolehkan, apalagi ketika masih ada orang lain yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas.
 “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. Muslim).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzarradhiallahu ‘anhu adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472)

Kekuatan ini pun amat berhubungan dengan kemampuan untuk amar makruf nahyi munkar.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Hadits ini mencakup tingkatan-tingkatan mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barang siapa yang mampu untuk merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh cara itu. Hal ini dilakukan oleh penguasa dan para petugas yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran’ di sini bisa dimaknai ‘melihat dengan mata dan yang serupa dengannya’ atau melihat dalam artian mengetahui informasinya.
Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa salah satu tugas dan tanggungjawab pemimpin atau pengemban jabatan adalah beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah umatnya dari kemungkaran.
Dalam Islam, kualitas iman adalah kriteria pertama dan utama. Kekuatan ilmu dan pengetahuan adalah kriteris selanjutnya. Namun sayangnya, kini pemahaman sebagian masyarakat, jabatan itu berasosiasi dengan kekuatan materi dan status sosial. 
“Sesungguhnya Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)

Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya.

Di samping itu, wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.


Di sisi lain, jabatan yang kita inginkan atau perebutkan belum tentu membawa kebaikan. Padahal belum tentu, apa yang ia kejar atau ambisikan itu baik untuk dia. Sebagaimana  Allah Ta’ala telah berfirman,

 “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)

Referensi:
http://www.kompasiana.com/www.klikqr.com/islam-jabatan-dan-kekuasaan_552aec81f17e61c353d623ce

-----
Refleksi diri di tengah hingar bingar pergantian jabatan yang ramai semua orang (nampaknya kecuali aku) perbincangkan.

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.  


3 komentar:

  1. Baru aja kemarin pagi ngobrol sama temen | dia awalnya ga ambisi jadi pejabat ini itu, tapi ngeliat atasannya yang kemampuannya "biasa-biasa" aja dan ga punya kemampuan manajemen yang baik, dia akhirnya jadi kepikir untuk meraih jabatan tersebut.

    Daripada dipegang sama yang ga bener. Cenah kitu teh

    BalasHapus
  2. Salam kenal :)
    Jabatan oh jaabataaan ~~
    Semoga kita selalu amanah utk tanggungjawab yg kita pegang aamiin

    BalasHapus
  3. Jabatan sekarang katanya identik sama uang dan 'bibit', entahlah...

    BalasHapus