Minggu, 18 September 2016

YUDI DAN MUHLIS




Merasa keren karena berhasil naik kuda nun di Bromo sana. Yap, itulah yang kemarin aku rasakan. Walaupun dengan perut mules, tangan keringetan, plus tuur nyorodcod.

Ya eya lah. Terakhir naik kuda di Ganesha jaman baheula waktu kecil, itupun tandem sama Apa. Dan yang dinaiki juga kuda poni.

Lah ini, kuda beneran, jangkung badag, make sadel teuas. Di lokasi kayak gurun pasir sambil naik turun di jalan kecil nanjak menuju kawah.

Sekali lagi, aku merasa keren.

----

Namun, dalam perjalanan pulang dari Malang, aku merenung. 

Lokasi wisata yang aduhai itu rasa-rasanya tidak membawa dampak positif buat penduduknya. Dengan catatan perlu riset tambahan buat membuktikan hipotesis awal ini.

Selagi tersengal-sengal berusaha keras duduk tegak dan pegang tali kuat-kuat, aku coba ngobrol dengan sang pawang kuda. Ia bernama Yudi. Penduduk asli di situ, di perkampungan di atas lembah menuju kawah. Di seberang gunung.

Semula aku kira, di sekitar ada peternakan kuda. Ternyata tidak. Yudi bercerita bahwa kuda itu dahulu milik juragannya, dibeli seharga 15 juta ketika sudah cukup umur untuk dijadikan kuda tunggangan. Diimpor dari Pandaan. Dari penghasilan sehari-hari selama sekitar dua tahun, kuda itu berhasil dia beli dan sekarang jadi miliknya.

Tarif sekali menunggang kuda adalah 100 ribu. Dibandingkan sekali naik kuda di Jl. Ganesha, wooww mahal bingit!!!. Taapiii daya upaya yang perlu dia keluarkan sebanding lhoo atau bahkan tarif itu kurang mahal?... Dan rupanya tidak setiap hari ia dapat penumpang. 

Aku tidak sempat menghitung ada berapa kuda di situ. Namun ada banyak, dan setiap ada Landy berhenti, maka mereka rebutan tawarkan jasa. Dalam hati sempat berfikir, kenapa ga dibuat semacam sistem antrian ya. Rasanya lebih adil dan semua pasti dapat penumpang sesuai gilirannya.

Kita anggap dalam seminggu, Yudi dapat lima penumpang. Berarti dalam sebulan, rata-rata penghasilannya 2 juta rupiah. Mungkin lumayan ya untuk ukuran di pedesaan.

Tapi mari kita lihat lebih jauh lagi.

Lokasi permukiman Yudi asli jauh dari mana-mana. Kemarin, aku dan rombongan dari Malang tempuh jarak 2 jam ketika berangkat dini hari dan 3 jam ketika pulang. Itu baru sampai semacam basecamp ketika kita berganti mobil Landy.

Dari basecamp, waktu tempuh sampai ke Lautan Pasir sekitar 1,5 jam. Dengan medan yang edun suredun ajib surajib buat saya mah.

Bisa dibayangkan pasti ada kendala untuk memenuhi kebutuhan pangan atau sandang. Dan itu akan berakibat biaya untuk mendapatkannya menjadi mahal. Belum lagi sarana air bersih yang pasti susah banget, dan lain-lain sarana lingkungan. Beruntung sekolah sudah ada sampai tingkat SMA. (Batinku, ya Allaah, semoga para gurunya mendapat ladang amal yang amat banyak, mengingat pengabdian mereka mengajar di pelosok seperti ini.)

----

Dalam ilmu perencanaan wilayah, lokasi wisata seperti ini sering digolongkan enclave. Ketika ada kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang nampaknya mendatangkan pendapatan yang cukup besar namun masyarakat sekitar yang seharusnya mendapat keuntungan paling besar, justru menjadi penonton yang cuma kecipratan sedikit.

Bromo sudah menjadi trending topic di mana-mana, skala nasional bahkan internasional. Kemarin, aku sempat mengobrol dengan salah seorang emak wisatawan, yang ternyata berasal dari Spanyol.

Tapi lihatlah. Penduduk sekitar “cuma” jadi pawang kuda, penjaga warung kopi, penjual kupluk dan sarung tangan, tukang sewa jaket, atau supir Landy (berani taruhan, Landy itu sebagian besar bukan punya dia). Dengan penghasilan yang bisa diperkirakan tidaklah besar.

Idealnya, penduduk sekitar bisa lebih diberdayakan dan dikuatkan.

Sekali lagi, ini hipotesis awalku, yang masih awam. Belum baca-baca literatur atau diskusi dengan teman yang lebih tahu informasi.

Tapi tetap, ini rasanya itu tidak adil.

-----

Kembali ke judul, ada yang tahu Muhlis itu nama apa atau siapa?






2 komentar:

  1. Saya pengen ke Bromo dr dulu blom kesampaian.

    Sedih ya teh..di Indonesia model pariwisatanya masih dikuasai pemodal besar banget :(, sementara penduduk lokal cuma jadi pemeran figuran.

    BalasHapus
  2. nama kudanya?
    iya juga ya baca ini jadi kepikiran tentang cost yang harus dikeluarin sama pencari nafkah di daerah wisata.. karena saya suka protes kaya waktu di malioboro mau naik delman ke kraton aja udah capek jalan eh kok 100rb ga jadi deh haha

    BalasHapus