(didedikasikan buat Mang
Muhya, satu sosok teramat sederhana namun tak ternilai jasanya bagi keluarga kami)
--
Dua hari menjelang akhir diklat-ku di
Jogja, aku dikejutkan kabar di WA grup keluarga dari kakak sulungku, kabarkan wafatnya mang Muhya, salah seorang
famili kami di Sumedang, kampung kami.
Innalillaahi wa inna ilaihi roojiuun. Ya
Allaah, gemetar rasanya sekujur tubuh ini. Kaget sedih nyaris tak percaya.
Ketiga kakakku langsung inisiatif, mengatur ini itu, siapa yang duluan berangkat ke Sumedang, bantuan pemakaman, berbagi tugas, dan
lain-lain. Sementara aku masih tercenung, sendirian di kamar, pada jarak yang
jauh. Dalam hati terucap doa untuk Mang Muhya sambil terisak.
----
Mang Muhya adalah keluarga jauh dari ibuku
almarhum. Lahir, berkeluarga, dan tinggal di dekat rumah nenekku, nun jauh di suatu kampung bernama Burujul di Kabupaten
Sumedang. Sewaktu kecil, yang aku ingat, bi Odah istrinya adalah orang yang
selalu ada di dapur Nini (nenek kami) membantu beliau wara wiri pekerjaan di dapur dan di sawah.
Ketika Nini sudah wafat, Ibu makin
sering ke Sumedang untuk mengurus berbagai hal. Menemani ibu, aku jadi lebih sering ketemu keluarga bi Odah dan mang
Muhya. Mengobrol berbagai hal tentang mengurus sawah
sambil siduru di hawu (berkumpul di
dapur dekat anglo), ngabubuy sampeu atau
hui atanapi meuleum ulen (manggang ketan). Nikmaatt... (ngabubuy apa yaa padanan katanya dalam bahasa
Indonesia, haha silahkan googling).
Mang Muhya dan bi Odah
adalah keluarga jauh Ibu dari Nini, tapi aku juga tidak
ingat bagaimana pancakaki (hubungannya).
Dua sosok sederhana tapi amat sangat
bisa diandalkan, membantu berbagai hal pada keluarga
kami.
Saking sederhananya, baju yang sehari-hari
mereka pakai mungkin hanya dua atau tiga setel.
Itu pun kadang aku perhatikan baju-baju lungsuran Apa (ayah kami) atau
kakakku. Makan sehari-hari cukup
dengan tahu tempe, asin dan lalap sambel. Bukan tak mampu menurutku. Mereka sendiri
punya beberapa petak sawah, balong, dan kebun, juga beternak ayam. Tapi ya itu,
karena tidak biasa makan berlebihan dan merasa cukup dengan yang ada.
Yak, sederhana, satu contoh buat kami dan hal pertama yang
melekat di ingatanku.
Buat
kami, mereka jauuuh lebih dekat dari sekedar
famili jauh. Setiap kami perlu bantuan mereka, pasti tak ragu langsung
singsingkan tangan. Kepentingan mereka sendiri sering dinomorduakan. Kadang kami tidak perlu katakan apa-apa, mereka
sudah paham apa saja yang perlu dilakukan.
Jika kami mudik, begitu
datang, mereka langsung sibuk sana sini siapkan
macam-macam, tanpa kami minta. Bahkan
kadang kami larang karena khawatir merepotkan. Kadang kami sengaja tidak
memberi kabar mau datang tapi yang ada malah seperti disalahkan karena mereka
jadi merasa tidak siap.
Sangu akeul haneut, goreng ayam kampung dadakan, lalap
sambel, segera tersaji di meja. Dampak negatifnya adalah aku kalo makan pasti nambah nasi haha.. gawaat... tidak mendukung diet ini mah.
Jika kami belum selesai makan, mereka pasti
belum makan. Walaupun kami sering ajak makan bersama. Tapi rasanya tidak pernah
mereka mau. Mereka makan ketika kami sudah selesai makan.
Namun dengan keistimewaan
yang kami dapat, ibu bapak selalu tanamkan bahwa mereka itu
keluarga. Ya, keluarga. Buat
aku, mang Muhya dan bi Odah ya adik ibuku. Anaknya Ujang Ayet dan Ai, ya adik-adikku. Kami sudah ga sungkan-sungkan bercanda, kadang Ujang memberi saran atau bahkan kritik yang menggelitik.
Hal kedua yang melekat di
hati, keluarga jauh tapi terasa dekaat sekali.
Ada satu hal lain yang bikin aku terkagum-kagum. Mang Muhya amat rapi
menyimpan administrasi dan amanah mengelola titipan Aki dan Nini. TItipan yang
tidak banyak, Cuma sepetak dua petak sawah dan beberapa kebun dan kolam. Tapi
mang Muhya selalu mencatat semua kegiatan, pengeluaran dan pendapatan dalam satu buku besar.
Rapiiiii banget. Lengkap dari mulai tanggal, berapa volumenya, keterangan, dan
rupiahnya.
Amanah. Satu contoh lain
buat kami. Hal ketiga.
--
Tahun lalu Mang Muhya mulai sakit. Mengeluh
sering sakit kepala dan telinga berdenging. Berobat ke dokter lalu dirujuk ke
rumah sakit kecil di kota Sumedang. Lalu dioperasi.
Kami yang baru tahu setelah dioperasi,
langsung ngananaha (menyalahkan
dengan khawatir/sedih): kenapa ga pernah berkabar waktu
sakit awal. Kan bisa coba konsul ke dokter yang lebih ahli di Bandung.
Bahasanya lagi-lagi: ah wios, alim
ngarepotkeun (ga papa, tidak mau merepotkan).
Tadinya kami tidak paham apa itu operasi.
Ternyata setelah menyimak cerita Ai anaknya. Itu tampaknya tindak biopsi. Dengan hasil diagnosis
kemungkinan kanker. kami terkaget-kaget waktu itu dan langsung diskusi keluarga supaya mau berobat lebih lanjut.
Akhirnya setelah dibujuk dengan berbagai cara, mang Muhya bersedia
berobat ke ke RSHS di Bandung. Semua
treatment yang diinstruksikan dokter, ia jalani dengan penuh semangat. Kadang memang
mengeluh, tapi tekadnya tetap kuat: hoyong damang (ingin sembuh). Singkat
cerita, paket kemoterapi dan radiasi diselesaikan sampai tuntas. Kedua anaknya
tak tanggung-tanggung mengurus ayahnya ini wara- wiri ke RSHS dengan BPJS yang
terbukti memang menguji kesabaran sang pasien.
Hal keempat buat renunganku, sabar dan
ikhlas ketika sakit.
(Ada
satu hal yang kadang aku sesali sekarang. Janjiku waktu itu untuk temani
berobat ternyata tidak bisa aku tepati. Karena jarak dan kesibukan di rumah dan
kantor, cuma
bisa pantau dari jauh, via grup keluarga atau telpon Ujang.)
Tiga bulan lalu, aku pulang mudik waktu Iedul Adha.
Mang Muhya baru selesai paket kemoterapinya. Alhamdulillaah, wajahnya segar dan
bisa ngobrol macam-macam. Waktu aku datang, ia sedang sibuk di gudang, kutrak ketrek betulin pacul dan perkakas lainnya. Walaupun badannya
kurus tapi wajahnya segar. Mengobrol dengan seru dan
semangat.
Ternyata kali itulah
terakhir aku ketemu dengannya.
---
Sabtu tanggal 29 Oktober pulang diklat,
hari Minggunya langsung aku menuju kampung. Pengen ketemu bi Odah, Ujang, dan menengok
makam mang Muhya. Begitu ketemu bi Odah, aku peluk dia. Tidak ada kata-kata
keluar. Tapi setelah ngobrol beberapa kata, mulai mengalir air matanya sambil
tak lepas memandangku. Hiks aku langsung nangis juga. Dan berpelukan lah kami
sambil bertangisan. Katanya: kunaon bet
angkat, pan kamari tos sehat
(kenapa malah pergi, kan udah sehat). Duh sedih banget aku melihat tatapan matanya….
Setelah bi Odah reda. Aku coba ngobrol sama
Ujang anaknya. Dengan tegar, Ujang bercerita kronologis sakitnya sampai wafatnya. Ternyata setelah paket kemoterapi, seharusnya mang
Muhya kontrol lagi ke RSHS. Tapi dibujuk-bujuk, ia tidak mau. Kakakku termasuk yang
usaha membujuk bahkan sampai menjemput ke kampung tapi ia menolak.
Mungkin itu penyebab fisiknya
lalu drop kembali. Ketika ada yang dirasakan kembali, ia tidak mengeluh pada
istri dan anak-anaknya. Ketika sudah parah, Ujang
bercerita sambil mimik kesal: ku naon atuh bapa teh teu nyarios? Pan Ujang bisa usaha ngubaran (kenapa bapa ga cerita
kan kita bisa cari jalan untuk berobat lagi), mukanya
sedih dan langsung air matanya keluar. Pan
bapa embung ngaripuhkeun wae anak (kan bapak ga mau merepotkan anak terus menerus),
begitu jawabnya.
Kami pun bertangisan lagi.
Bagian terakhir obrolan kami, ada satu
hal lagi yang juga berkesan buatku.
Ujang berkata: Teh, abdi mah emut pisan baheula pesen Bapa waktos uwa Yoyoh (ibuku)
pupus. Ujang teh pan sedih teras nangis. Saur bapa, ulah diceungceurikan, kudu
ikhlas, bisi almarhumah beurateun. Kudu ingetna uwa teh siga
biasa bade mulih ka Bandung. Urang cukup nyarios, uwa
wilujeng angkat, mugi-mugi salamet dugi tujuan.
Tah
kitu teh, ayeuna oge pami Ujang mimiti sedih emut ka Bapa.
Emut eta we. Jadi dianggap bapa teh bade angkat we ka mana kitu: wilujeng angkat pa, bari ngagupaykeun
panangan, ati-ati di jalan.
(Teh, Ujang ingat pesan
Bapa waktu wa Yoyoh wafat. Ujang ulah nangis, harus ikhlas, supaya almarhumah
diringankan jalannya. Anggap saja uwa mau pulang ke Bandung seperti biasa. Cukup
ucapkan: selamat jalan wa, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan.
Sekarang juga kalau Ujang
sedih ingat bapa, ciptakan saja bapa mau berangkat ke kota, cukup lambaikan
tangan dan ucapkan selamat jalan.)
Aah… begitu sederhana kata-katanya tetapi
dalam maknanya.
Hal kelima yang paling berkesan buatku.
---
Wilujeng angkat mang Muhya.
Mugi-mugi husnul khotimah, ditampi iman Islam-na, dihapunten sagala
kalepatanna, dicaangkeun alam kuburna.
Haturnuhun kana sagala kasaean mamang ka
kulawarga abdi sadaya.