Senin, 19 Desember 2016

Ibu Pengembara

Aku mungkin ibu pengembara
terus mencari jalan
sibak duri dan onak

Barangkali sedikit lambat
Kala yang lain telah bersarang
dengan sentosa
Tapi aku yakin
rancangan-Nya pasti indah

Ya, aku ibu pengembara

Di tengah gegap gempita
aku pilih jalan lain
dengan sadar
Sering terasa sunyi,
sepi, sendiri

Namun aku tahu
di dekatku penopang dari-Mu
Selalu

 ----

*penandatitikhijrahku

Selasa, 29 November 2016

Recharge batin di Suryakanti

Bermula dari postingan di grup Whatsapp dari kawan Banil, yang kabarkan info mbak Yuyun, kawan kami, butuh bantuan. Bantuan untuk temani beberapa anak yang mesti terapi di Suryakanti. Waktu itu aku dalam perjalanan ke Bandung, buat hadir di persiapan nikah Fadhilah keponakanku.

Entah kenapa, hatiku langsung tergerak, kayaknya aku bisa ikut bantu nih. Langsung aku kontak mbak Yuyun. Tapi baru dapat balasan besok paginya.

Mbak Yuyun seniorku di TL ini adalah pendiri Bali Focus, suatu lembaga yang bergerak pada isu mercury monitoring dan advokasinya. Empat tahun terakhir aktivitasnya lalu melebar ke isu kesehatan. karena ternyata dibutuhkan. Mereka membantu peningkatan derajat kesehatan warga di sekitar tambang emas yang terpapar merkuri, mulai dari perawatan dokter dan rumah sakit, perbaikan gizi, atau terapi seperti yang sekarang ditempuh di Suryakanti. Merkuri adalah sejenis logam berat yang dalam jangka panjang akan terakumulasi dalam tubuh manusia dan menyebabkan berbagai dampak negatif.

Yang akan terapi di Suryakanti ini berasal dari Kasepuhan Adat Cisitu, Cibeber, Kabupaten Lebak, nun di perbatasan Sukabumi-Banten. Anak-anak ini born pre-polluted akibat terpapar merkuri. 

Ada lima anak dengan berbagai kondisi. Sejak kemarin, anak-anak ini  di-assesment dan mendapat beberapa sesi terapi. Mereka diantar orangtua masing-masing. Tapi mereka butuh ada yang dampingi, untuk teman ngobrol atau kalau2 ada hal-hal yang perlu dikomunikasikan langsung dengan mbak Yuyun yang siang itu sedang ada kegiatan juri di UI Depok. 

Sejak tinggal di Bandung, aku rasanya pernah tahu tentang klinik Suryakanti, semacam tempat terapi psikologis/psikiater. Ternyata Suryakanti sekarang sudah berkembang jadi semacam pusat terapi terpadu, dari mulai medis dengan dilengkapi fasilitas fisioterapi. Lokasinya di Terusan Cimuncang.

---

Sampai di Suryakanti, seperti info mbak Yuyun, aku mencari mbak Diana, bagian adminnya. Mbak Diana yang cantik dan ramah, menjelaskan sekilas tentang kondisi kelima anak itu lalu kenalkan aku dengan para orangtua. Begitu aku bilang, temannya bu Yuyun, mereka langsung tersenyum dan menyambutku dengan ramah.

Aku coba berbasa basi sejenak, lalu amati anak-anak itu sambil berusaha menghafalkan nama mereka.

Ada Rifki yang sedang digendong ibunya, microcephalus. Mukanya cakep banget, putih bersih. Aku elus-elus pipi dan kakinya. Tiba-tiba dia tersenyum padaku, senyum lebar. Aaahhh, mulai deh meleleh hati ini. Ibunya tampak masih muda banget, mungkin umurnya baru sekitar 20 tahunan. Ayahnya juga masih muda. Mereka bergantian memangku Rifki, sambil ajak ngobrol dan mengusap-usap buah hatinya itu.

Yang kedua bernama Jasmine, anak perempuan usia 2 tahun. kabarnya sang ibu memberi nama Jasmine Parisa karena ngefans berat sama Paris Hilton hehe..  Lucu, berpipi gembil, tampak sehat, aktif jalan ke sana kemari dan main ayunan. Ia hanya ditemani ibunya.

Satu anak lagi, namanya Angel. Dia langsung hampiri aku, bersalaman sambil senyum-senyum. Anaknya tampak sehat namun ternyata sering kejang, diagnosis pembengkakan kelenjar tyroid. Ayahnya Angel tampak senang mengobrol hehe aku sempat bercanda dengan dia dan ibunya Angel.

Lalu satu anak cantiiik bernama Camelia, 6 tahun, rambut ikal, kulit putih. Diagnosanya severe autistic. Keluar dari ruang terapi, sambil disuapi, aku ngobrol dengan ibunya. Ehh tiba-tiba Camelia mendekat terus gelendot ke badanku. Aku langsung pangku dia sambil usap-usap kepalanya.


Yang kelima bernama Febri, yang tak hentinya main sepeda berkeliling koridor klinik. Haha.. ibunya sampai kelelahan dorong-dorong itu sepeda. Febri sejak bayi sering panas tinggi dan kejang, biasa diberi obat anti kejang. Di klinik ini, ia mendapat terapi obat yang ternyata tidak cocok, sekujur badannya gatal-gatal kemerahan. Siang itu, dokter merujuknya untuk dibawa ke rumah sakit.

Berbekal surat pengantar dari Suryakanti, aku temani orangtua Febri ke RS Santo Yusuf. Sesampai di IGD, dokter jaga di situ lalu memberi saran supaya langsung konsul ke poli anak. Aku temani sang ibu masuk ke ruang dokter. Bersyukur, dokternya ramah dan kooperatif, ia wawancara si ibu tentang kronologis riwayat kesehatan Febri sejak lahir. Alhamdulillaah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sang ibu dibekali obat puyer plus vitamin untuk daya tahan.

Setelah semua beres terapi dan pulang dari rumah sakit, aku pamitan. Aku salami dan peluk mereka satu persatu. Semua ucapkan terima kasih dengan mata yang tuluuss.

------

Beres temani mereka, aku jalan pulang. Mampir sebentar ke kedai kecil untuk minum sekedar teh manis atau kopi.

Air mata yang sedari tadi aku tahan-tahan, keluar juga jadi tangis pelan.

Qadarullah, Allah beri aku jalan untuk perkaya batin ini.

Bukan mereka yang harusnya ucapkan terimakasih. Apa yang aku lakukan ini tidaklah sebanding dengan perjuangan dan keikhlasan mereka, menyayangi dan menerima dengan tabah apapun kondisi anak mereka. Juga hanya seujung kuku dibandingkan dengan apa yang telah mbak Yuyun (dan Bali Focus) perjuangkan.

Aku yang berterimakasih, sebesar-besarnyaa, sebanyak-banyaknyaa.

Aku belajar dari orang-orang sederhana ini. Belajar tentang ketabahan, belajar tentang keikhlasan. Sekaligus menampar aku yang sering berkeluh kesah, padahal pengalaman sedih atau pahit yang aku alami, wuuiihh ga adaaaa apa-apanya dibanding mereka.

Terimakasih Rifki, Amel, Febri, Jasmine, Angel.  Seberkas sinar telah kalian kirimkan ke dalam hati ini, mengisi ulang batin ini yang sering kering kerontang.

Good luck, anak-anakku… Sehat-sehat semuaaa..  Semoga Allah beri jalan untuk kesembuhan kalian, anak-anak hebat. Semoga kalian bisa mandiri dan punya kehidupan yang baik.

Terimakasih juga buat mbak Yuyun, terus berjuang mbak.. Semoga lain waktu aku bisa dapat kesempatan untuk sedikit bantu lagi.

 ----



*buat kawan yang berkenan untuk support dana, dibuka fundraising di platform Kitabisa.com, dipersilakan, dengan sangat,….


Minggu, 20 November 2016

Wilujeng angkat, Mang…..

(didedikasikan buat Mang Muhya, satu sosok teramat sederhana namun tak ternilai jasanya bagi keluarga kami)
--

Dua hari menjelang akhir diklat-ku di Jogja, aku dikejutkan kabar di WA grup keluarga dari kakak sulungku, kabarkan wafatnya mang Muhya, salah seorang famili kami di Sumedang, kampung kami.
Innalillaahi wa inna ilaihi roojiuun. Ya Allaah, gemetar rasanya sekujur tubuh ini. Kaget sedih nyaris tak percaya.

Ketiga kakakku langsung inisiatif, mengatur ini itu, siapa yang duluan berangkat ke Sumedang, bantuan pemakaman, berbagi tugas, dan lain-lain. Sementara aku masih tercenung, sendirian di kamar, pada jarak yang jauh. Dalam hati terucap doa untuk Mang Muhya sambil terisak.
----

Mang Muhya adalah keluarga jauh dari ibuku almarhum. Lahir, berkeluarga, dan tinggal di dekat rumah nenekku, nun jauh di suatu kampung bernama Burujul di Kabupaten Sumedang. Sewaktu kecil, yang aku ingat, bi Odah istrinya adalah orang yang selalu ada di dapur Nini (nenek kami) membantu beliau wara wiri pekerjaan di dapur dan di sawah.

Ketika Nini sudah wafat, Ibu makin sering ke Sumedang untuk mengurus berbagai hal. Menemani ibu, aku jadi lebih sering ketemu keluarga bi Odah dan mang Muhya.  Mengobrol berbagai hal tentang mengurus sawah sambil siduru di hawu (berkumpul di dapur dekat anglo), ngabubuy sampeu atau hui atanapi meuleum ulen (manggang ketan). Nikmaatt...  (ngabubuy apa yaa padanan katanya dalam bahasa Indonesia, haha silahkan googling).

Mang Muhya dan bi Odah adalah keluarga jauh Ibu dari Nini, tapi aku juga tidak ingat bagaimana pancakaki (hubungannya). Dua sosok sederhana tapi amat sangat bisa diandalkan, membantu berbagai hal pada keluarga kami.

Saking sederhananya, baju yang sehari-hari mereka pakai mungkin hanya dua atau tiga setel.  Itu pun kadang aku perhatikan baju-baju lungsuran Apa (ayah kami) atau kakakku. Makan sehari-hari cukup dengan tahu tempe, asin dan lalap sambel. Bukan tak mampu menurutku. Mereka sendiri punya beberapa petak sawah, balong, dan kebun, juga beternak ayam. Tapi ya itu, karena tidak biasa makan berlebihan dan merasa cukup dengan yang ada.

Yak, sederhana, satu contoh buat kami dan hal pertama yang melekat di ingatanku.

Buat kami, mereka jauuuh lebih dekat dari sekedar famili jauh. Setiap kami perlu bantuan mereka, pasti tak ragu langsung singsingkan tangan. Kepentingan mereka sendiri sering dinomorduakan. Kadang kami tidak perlu katakan apa-apa, mereka sudah paham apa saja yang perlu dilakukan.

Jika kami mudik, begitu datang, mereka langsung sibuk sana sini siapkan macam-macam, tanpa kami minta. Bahkan kadang kami larang karena khawatir merepotkan. Kadang kami sengaja tidak memberi kabar mau datang tapi yang ada malah seperti disalahkan karena mereka jadi merasa tidak siap.

Sangu akeul haneut, goreng ayam kampung dadakan, lalap sambel, segera tersaji di meja. Dampak negatifnya adalah aku kalo makan pasti nambah nasi haha.. gawaat... tidak mendukung diet ini mah.
Jika kami belum selesai makan, mereka pasti belum makan. Walaupun kami sering ajak makan bersama. Tapi rasanya tidak pernah mereka mau. Mereka makan ketika kami sudah selesai makan.

Namun dengan keistimewaan yang kami dapat, ibu bapak selalu tanamkan bahwa mereka itu 
keluarga.  Ya, keluarga. Buat aku, mang Muhya dan bi Odah ya adik ibuku. Anaknya Ujang Ayet dan Ai, ya adik-adikku. Kami sudah ga sungkan-sungkan bercanda, kadang Ujang memberi saran atau bahkan kritik yang menggelitik.

Hal kedua yang melekat di hati, keluarga jauh tapi terasa dekaat sekali.

Ada satu hal lain yang bikin aku terkagum-kagum.  Mang Muhya amat rapi menyimpan administrasi dan amanah mengelola titipan Aki dan Nini. TItipan yang tidak banyak, Cuma sepetak dua petak sawah dan beberapa kebun dan kolam. Tapi mang Muhya selalu mencatat semua kegiatan, pengeluaran dan pendapatan dalam satu buku besar. Rapiiiii banget. Lengkap dari mulai tanggal, berapa volumenya, keterangan, dan rupiahnya.

Amanah. Satu contoh lain buat kami. Hal ketiga.
--

Tahun lalu Mang Muhya mulai sakit. Mengeluh sering sakit kepala dan telinga berdenging. Berobat ke dokter lalu dirujuk ke rumah sakit kecil di kota Sumedang. Lalu dioperasi.

Kami yang baru tahu setelah dioperasi, langsung ngananaha (menyalahkan dengan khawatir/sedih): kenapa ga pernah berkabar waktu sakit awal. Kan bisa coba konsul ke dokter yang lebih ahli di Bandung. Bahasanya lagi-lagi: ah wios, alim ngarepotkeun (ga papa, tidak mau merepotkan).
Tadinya kami tidak paham apa itu operasi. Ternyata setelah menyimak cerita Ai anaknya. Itu tampaknya tindak biopsi. Dengan hasil diagnosis kemungkinan kanker. kami terkaget-kaget waktu itu dan langsung diskusi keluarga supaya mau berobat lebih lanjut.

Akhirnya setelah dibujuk dengan berbagai cara, mang Muhya bersedia berobat ke ke RSHS di Bandung. Semua treatment yang diinstruksikan dokter, ia jalani dengan penuh semangat. Kadang memang mengeluh, tapi tekadnya tetap kuat: hoyong damang (ingin sembuh). Singkat cerita, paket kemoterapi dan radiasi diselesaikan sampai tuntas. Kedua anaknya tak tanggung-tanggung mengurus ayahnya ini wara- wiri ke RSHS dengan BPJS yang terbukti memang menguji kesabaran sang pasien.

Hal keempat buat renunganku, sabar dan ikhlas ketika sakit.

(Ada satu hal yang kadang aku sesali sekarang. Janjiku waktu itu untuk temani berobat ternyata tidak bisa aku tepati. Karena jarak dan kesibukan di rumah dan kantor, cuma bisa pantau dari jauh, via grup keluarga atau telpon Ujang.)

Tiga bulan lalu, aku pulang mudik waktu Iedul Adha. Mang Muhya baru selesai paket kemoterapinya. Alhamdulillaah, wajahnya segar dan bisa ngobrol macam-macam. Waktu aku datang, ia sedang sibuk di gudang, kutrak ketrek betulin pacul dan perkakas lainnya. Walaupun badannya kurus tapi wajahnya segar. Mengobrol dengan seru dan semangat.

Ternyata kali itulah terakhir aku ketemu dengannya.
---

Sabtu tanggal 29 Oktober pulang diklat, hari Minggunya langsung aku menuju kampung. Pengen ketemu bi Odah, Ujang, dan menengok makam mang Muhya. Begitu ketemu bi Odah, aku peluk dia. Tidak ada kata-kata keluar. Tapi setelah ngobrol beberapa kata, mulai mengalir air matanya sambil tak lepas memandangku. Hiks aku langsung nangis juga. Dan berpelukan lah kami sambil bertangisan. Katanya: kunaon bet angkat, pan kamari tos sehat (kenapa malah pergi, kan udah sehat). Duh sedih banget aku melihat tatapan matanya….

Setelah bi Odah reda. Aku coba ngobrol sama Ujang anaknya. Dengan tegar, Ujang bercerita kronologis sakitnya sampai wafatnya. Ternyata setelah paket kemoterapi, seharusnya mang Muhya kontrol lagi ke RSHS. Tapi dibujuk-bujuk, ia tidak mau. Kakakku termasuk yang usaha membujuk bahkan sampai menjemput ke kampung tapi ia menolak.

Mungkin itu penyebab fisiknya lalu drop kembali. Ketika ada yang dirasakan kembali, ia tidak mengeluh pada istri dan anak-anaknya. Ketika sudah parah, Ujang bercerita sambil mimik kesal: ku naon atuh bapa teh teu nyarios? Pan Ujang bisa usaha ngubaran (kenapa bapa ga cerita kan kita bisa cari jalan untuk berobat lagi), mukanya sedih dan langsung air matanya keluar. Pan bapa embung ngaripuhkeun wae anak (kan bapak ga mau merepotkan anak terus menerus), begitu jawabnya.
Kami pun bertangisan lagi.

Bagian terakhir obrolan kami, ada satu hal lagi yang juga berkesan buatku.

Ujang berkata: Teh, abdi mah emut pisan baheula pesen Bapa waktos uwa Yoyoh (ibuku) pupus. Ujang teh pan sedih teras nangis. Saur bapa, ulah diceungceurikan, kudu ikhlas, bisi almarhumah beurateun. Kudu ingetna uwa teh siga biasa bade mulih ka Bandung. Urang cukup nyarios, uwa wilujeng angkat, mugi-mugi salamet dugi tujuan.
Tah kitu teh, ayeuna oge pami Ujang mimiti sedih emut ka Bapa. Emut eta we. Jadi dianggap bapa teh bade angkat we ka mana kitu: wilujeng angkat pa, bari ngagupaykeun panangan, ati-ati di jalan.

(Teh, Ujang ingat pesan Bapa waktu wa Yoyoh wafat. Ujang ulah nangis, harus ikhlas, supaya almarhumah diringankan jalannya. Anggap saja uwa mau pulang ke Bandung seperti biasa. Cukup ucapkan: selamat jalan wa, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan.
Sekarang juga kalau Ujang sedih ingat bapa, ciptakan saja bapa mau berangkat ke kota, cukup lambaikan tangan dan ucapkan selamat jalan.)

Aah… begitu sederhana kata-katanya tetapi dalam maknanya.
Hal kelima yang paling berkesan buatku.
---

Wilujeng angkat mang Muhya.
Mugi-mugi husnul khotimah, ditampi iman Islam-na, dihapunten sagala kalepatanna, dicaangkeun alam kuburna.

Haturnuhun kana sagala kasaean mamang ka kulawarga abdi sadaya.

Minggu, 13 November 2016

Komunitas yang Membuka Mata Hatiku

Komunitas.

Satu kata yang sekarang amat sering digunakan orang. Satu kata yang dulu ketika sekolah dan kuliah rasanya belum masuk perbendaharaan di otakku tapi kini menjadi satu kata yang melekat di hati dan ingatanku.

Dalam pengertianku, komunitas itu sekumpulan orang dengan visi yang sama pada satu hal spesifik, yang lalu menjalankan berbagai misi untuk mencapai visi itu. Memang kedengarannya jadi mirip pengertian organisasi, tapi mungkin bedanya adalah komunitas ini sering tidak direncanakan, bentuknya informal, dan lebih berat unsur kerelawanannya, atau kadang malah anti mainstream.(hehe.. gaya amat ya mulai belajar berdefinisi).

Dan setelah googling, ternyata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. lumayan memper-memper juga ya definisi karanganku.


Komunitasku yang pertama dan sampai sekarang masih selalu aku usahakan untuk tetap bergabung adalah Kelas Inspirasi (KI). Yang awalnya cuma niat ikut gabung karena pengen coba-coba, lalu terus ikut dan ikut karena rasanya nagih. 

Di sinilah mula aku belajar tentang semangat perkawanan dan kerelawanan, bekerja bersama-sama dalam format yang “tidak resmi”. Sulit untuk diuraikan dengan kata-kata, tapi di sinilah aku merasa satu pencarianku menemukan jawabannya.

Ketika lingkungan kerjaku mulai terasa negatif, ketika aku merasa tidak temukan kawan yang satu visi atau satu pemahaman, ketika orang hanya dinilai dari apa yang dia pakai dan bukan dari apa yang ada di otaknya, ketika nilai-nilai material dikalahkan oleh kekayaan hati.

Di KI-lah, aku belajar tentang ketulusan. aku bergaul dengan orang-orang positif. Aku belajar untuk tidak menilai orang dari busana atau penampilannya, tapi dari hatinya. Bahkan orang yang awalnya tampak garang menyeramkan sekalipun, ternyata banyak teladan yang bisa aku contoh darinya

Di sini aku melihat bahwa hal-hal material itu seperti tidak berarti. Ada banyak orang-orang yang tidak kekurangan secara materi tapi tidak berniat memperlihatkan kekayaannya. Tidak merasa keren, tidak merasa lebih dari yang lain. Yang tampak hanya semangat untuk berbagi. 

Selain jadi relawan pengajar, dua tiga kali aku juga mencoba jadi panitia. Rempong bin riweuh memang, karena komunikasi utama biasanya lewat grup Whatsapp yang bisa aktif hampir 20 jam sehari. Buat mamak2 macam awak ini, jam 10 malam sudah menguap lebar-lebar, itu butuh energi lebih. Tiap orang punya kontribusi,sekecil apapun akan selalu dihargai. Aku pernah gabung di tim sekretariat, yang kadang jam 11 malem tiba-tiba kudu bikin konsep surat untuk pinjam gedung. Waduuhh..!!! Mungkin remeh yaa, tapi rasanya hati ini senang bin semangat aja.

Semua orang bekerja keras bersama-sama untuk capai satu tujuan yaitu mencoba memberi warna bagi pendidikan anak-anak Indonesia. Bekerja bersama-sama yang kadang tampak seperti sekumpulan orang gokil bin aneh. Ya iyalah orang-orang yang mauuu aja korbankan waktu, energi, materi, "cuma" untuk persiapkan suatu kegiatan ngajar tentang profesi pada anak-anak SD. 

Kadang-kadang tujuan itu mungkin dianggap agak gila, lebay, atau aneh bagi orang lain. Contohnya ada satu kawan yang sudah bergabung menjadi relawan KI di 23 kota. Yak dua puluh tiga kota, saudara-saudara. Dengan biaya sendiri, mengorbankan waktu hanya untuk datang ke satu sekolah dan berbagi cerita tentang profesinya. Ada lagi satu kawan yang mau-maunya jadi penggagas KI Tanimbar. Di mana pula itu Tanimbar? Nun jauh di sana, yang perjalanannya saja tidak mudah dan butuh biaya jutaan. Tapi kok dia mau yaa? Aneh bin ajaib kan.

Dari usia muda sampai usia ga muda tapi masih ingin berjiwa muda (contohnya saya sendiri hehe) bergabung bersama, dari satu satu kota, lalu menjadi gerakan yang massif.

Berangkat dari komunitas ini, lalu aku terhubung dengan banyak kawan dari berbagai latar belakang dan berbagai daerah atau juga dengan komunitas lainnya. Itu satu hikmah yang amat aku syukuri. Networking dan silaturahim terjalin dengan hangat. Informasi bisa menjalar dengan cepat, misalnya ketika ada satu kawan yang perlu bantuan buku atau Rumah Singgah, lewat networking inilah banyak pihak yang bisa terhubung lalu saling bantu.

Hal positif lainnya adalah pikiranku lebih terbuka. Aku pelan-pelan belajar menjadi orang yang lebih terbuka. Tidak gampang hakimi orang, coba kenali potensi teman, bisa ajak atau bahkan paksa orang untuk keluar dari zona nyamannya dan mencoba hal-hal baru yang tentunya positif. Pembelajaran ini kuakui masih berproses tapi lumayan lah buat seorang kutu buku yang ga gaul macam awak iniiii...

Tak kupungkiri, ada banyak kritik untuk gerakan ini. Misalnya, mana mungkin dalam setengah hari atau cuma sekian jam kita bisa memberi inspirasi tentang cita-cita pada segerombolan anak-anak SD. Belum tentu juga anak-anak itu sekolah terus, mungkin sampai SMP atau paling banter SMA dia sekolah lalu bekerja jadi kasir di minimarket misalnya. Dan mungkin masih banyak lagi kritik lainnya.

Tapi kembali lagi, buat aku pribadi lebih baik nyalakan lilin daripada mengutuk dalam kegelapan. Lebih baik berbuat sesuatu, walaupun mungkin kecil, daripada kita hanya berdiam diri. Lebih baik turun tangan, daripada hanya tunjuk tangan. (dikutip beberapa semboyan atau tagline Kelas Inspirasi).

*teriring rasa syukur pada Allah yang memberi jalan dan kesempatan

Kamis, 06 Oktober 2016

UPACARA BENDERA: DUA KENANGAN INDAH

Upacara bendera.. hhmmm mungkin seperti kebanyakan orang, upacara itu sesuatu yang tidak disukai dan sebisa mungkin dihindari haha.. Tapi ketika aku flashback memori, ternyata ada dua masa ketika upacara bendera yang bikin aku terkenang-kenang bahkan berlinang.

KALA SEKOLAH

Aku bersekolah di SD dan SMP PPSP, sebelum lanjut ke SMA negeri biasa. Di setiap angkatan hanya ada dua kelas, A dan B dengan jumlah murid total tidak lebih dari 50 anak. Aku termasuk yang berbadan tinggi di angkatanku, mungkin itu sebabnya aku didapuk jadi petugas upacara. Dan entah kenapa sejak awal dipilih, aku selalu kebagian tugas jadi protokol. Entah memang suaraku lumayan merdu hehe.. Hal yang sebetulnya bikin kagum campur bingung karena sekarang ketika karaoke-an sama temen2, suaraku selalu  yang paling fals. Hihihi….

Kala itu, aku merasa percaya diri, merasa punya prestasi walau mungkin secuil. Ibu yang juga guru di sekolahku, ada di barisan depan ketika upacara. Dan aku merasa, aku sudah bikin ibu bangga meskipun ibu tak pernah mengatakannya. Yang ada beliau sering beri saran atau malah kritikan misalnya ketika suaraku kurang lantang hehe..

Kini setelah jadi ibu, aku kilas balik satu hal penting. Ketika kita percaya pada kemampuan seorang anak, sekecil apapun itu, lalu mendorongnya untuk berperan sesuatu, maka akan berdampak amat positif. Anak jadi percaya diri, merasa dihargai dan diapresiasi.  

Terimakasih bapak dan ibu guruku tercinta di SD dan SMP PPSP. (aahh.., langsung deh hati ini tersedu, teringat almarhumah ibu).


KALA DEWASA

Aku pertama kali bergabung jadi relawan di Kelas Inspirasi (KI) Bogor tahun 2013. Dalam beberapa rangkain kegiatan KI, biasanya ada sesi bernyanyi lagu Indonesia Raya. Aku suka sekali momen itu, patriotik sekali rasanya. 

Ketika ikut jadi relawan lagi di KI Bandung 3, aku ditempatkan di SD Langensari.  Lokasinya di sekitar Sadangserang. Sekitar sekolah tampaknya daerah agak marjinal, di pinggiran kota dekat perbatasan dengan wilayah kabupaten.

Di SD ini, kelompok kami terdiri dari 18 relawan pengajar dan fotografer. Profesi relawan beragam, ada psikolog, pengajar yoga, dosen, pengusaha, geolog, dan lain-lain, Sebagian relawan memakai busana kerja sesuai profesi mereka.

Deretan ruang kelas membentuk seperti huruf U dan di tengah-tengahnya terdapat lapangan upacara yang cukup besar. Di lapangan itulah, berlangsung upacara yang menandai awal kegiatan KI kala itu.

Anak-anak telah berbaris sesuai kelas masing-masing. Para guru dan para relawan berdiri berderet di depan. Ketika upacara dimulai, aku amati wajah anak-anak ini. Wajah-wajah polos dengan mata berbinar-binar, sebagian besar melihat kami dengan penuh minat, para relawan dengan tampilan yang unik, berbeda dari guru-guru mereka. Mata ini mulai panas dan berkaca-kaca.

Upacara berjalan dan tibalah saat bendera dinaikkan dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Anak-anak bernyanyi dengan lantang dan bersemangat. Aku pun turut bernyanyi sambil terharu. Aaahhhh rasanya meleleh hati ini dan air mata langsung berlinang.

Betapa syahdu rasanya. Upacara kala itu amat berkesan bagiku.

Bocah-bocah ini adalah generasi penerus kita. Kepada merekalah kita titipkan kelangsungan bangsa kita, Indonesia, Negara besar yang telah ditebus dengan segala darah dan air mata para pejuang kemerdekaan kita.

Walaupun apa yang kami lakukan ini mungkin hanya seberkas. Tapi dalam hatiku terbersit harapan, semoga kalian bisa sekolah setinggi-tingginya dan jadi orang bermanfaat bagi negara, masyarakat, dan agama.

Terimakasih anak-anakku. Sesungguhnya bukan aku yang menginspirasi, tapi kalianlah inspirator sejati bagiku.



Selasa, 27 September 2016

WORKS YOUR PASSION, Warna-Warni Profesi Yang Menginspirasi (ITB86)

Beberapa bulan lalu teh Annis, salah seorang sobatku, bercerita bahwa ITB Angkatan 86 sedang menyusun sebuah buku. Mendengarnya, aku langsung berminat.Hal pertama yang aku tanyakan adalah adakah alumni TL atau PL yang jadi bagian buku itu? Haha.. sentimen jurusan. Ternyata ada beberapa nama yang kukenal. Makin berminatlah aku.

Lalu ketika teh Annis memuat gambar sampul buku itu di grup WhastApp kami, akulah yang pertama tunjuk tangan dan mau pesan. Seminggu kemudian, buku itu pun sampai di rumah.

Dalam bayanganku, buku ini akan bercerita tentang berbagai profesi unik para alumni ITB 86 lalu kesan-kesan mereka selama kuliah di ITB. Yang intinya memberi motivasi kepada para pembaca, untuk sekolah setinggi-tingginya dan bekerja dengan passion , bisa sesuai bidang ilmu masing-masing atau bisa juga berbeda.

Okay, let’s read….

Pertama lihat sampulnya.
Sampul buku yang unik menurutku. Sederhana, simpel tapi ciamik. Sampul berwarna putih dengan gambar gajah Ganesha lambang kampus kami tercinta dengan variasi seperti polkadot.

Kedua, lihat Daftar Isi.

Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai klasifikasi profesi para alumni ITB 86 yang diangkat. Ada bagian PNS, Profesional BUMN dan swasta, Dosen dan Peneliti, Pengusaha, dan Profesi Spesifik. Yang paling menarik buatku di bagian Profesi Spesifik, ada dua alumni dengan profesi Ibu Rumah Tangga. Waahh cakep nih, karena kadang sebagian kalangan berpendapat Ibu RT itu bukan profesi, padahal yaa….. padahaal… itu profesi paling sibuuuk sedunia.

Begitu aku buka daftar isi, aku scanning dan tentunya cari nama-nama yang aku sudah kenal. Ahaa… ada nama Tubagus Furqon Sofhani. Salah seorang dosen favoritku ketika kuliah S2 di PWK ITB, mengajar Ekonomi Wilayah. Jika beliau ngajar, rasanya santai ga tegang, tapi banyak pengalaman dan wawasan yang aku dapat. Daan yang bikin aku lebih suka adalah aku dapat nilai A untuk matkul ini. Hahaha…

Profil pak Furqon

Berikut aku kutip beberapa bagian profil beliau yang menarik. Pada pembukanya, ditulis dosen dan guru adalah sama. bahwa peran dosen tidak hanya dengan transfer pengetahuan tapi juga turut membangun masyarakat yang berkarakter kuat. 

Profesi guru buat aku selalu menarik. Keluargaku adalah keluarga guru. Ayah dan ibuku adalah guru selama puluhan tahun sampai pensiun, mengajar sejak anak SR/SD sampai mahasiswa. Salah seorang kakakku dosen, lalu beberapa paman, bibi, dan sepupuku juga guru.

Sewaktu lulus SMA, ibu menyarankan aku untuk sekolah di IKIP dan menjadi guru. Pengalaman beliau, guru itu profesi yang cocok untuk seorang perempuan. Aku yang kala itu masih berjiwa muda merasa itu kurang asyik dan daftar ke ITB, kepingin jadi tukang insinyur (sok jumawa tea haha..). Baru belakangan aku sadar, terutama setelah punya anak, bahwa ibuku benar adanya. Aaahhh, mother’s thought is always wise.

Dosen dan guru, seperti tulisan pembuka profil di atas, semua berjasa, berperan mengantarkan seorang anak manusia menjadi lebih terdidik.

Karakter kuat adalah poin yang tak kalah pentingnya. Bagaimana para pendidik ikut berperan menyiapkan generasi muda yang kuat dan berkarakter, yang punya identitas, tidak hanya jadi pengekor bangsa lain. Inovatif, kreatif, dan mandiri.

---

Bagian selanjutnya, ditulis tugas apakah yang paling menantang bagi seorang dosen, terutama dosen ITB? Tantangan pertama adalah menjadi bagian dari komunitas ilmuwan yang turut serta memproduksi pengetahuan. Jika dosen hanya menyerap lalu menyampaikan pengetahuan, maka fungsi dosen tersebut seperti sebuah gudang, hanya menampung tetapi tidak memproduksi.

Setuju sekali, sepakat tanpa kecuali. Bukan bermaksud mengecilkan kemampuan atau kemumpunian sang dosen, tapi jika hanya terpaku pada buku-buku text atau teori rasanya ada yang kurang.

Buat aku, dosen yang menarik adalah yang bisa sampaikan gagasan, inovasi, ide-ide, atau pengalaman empirisnya. Lebih banyak yang bisa aku dapat. Selain tambahan ilmu tapi juga tambahan wawasan, spirit, atau pencerahan.

Lalu, ditulis tentang tantangan kedua yaitu menjadi bagian dari solusi masalah bangsa. Tidak hanya terkait kegiatan dalam kampus, tetapi juga permasalahan bangsa yang lebih luas, seperti kedaulatan pangan, kemacetan, permukiman kumuh, dsb.

Tulisan selanjutnya menguraikan tentang pengalaman beliau di Forum Jatinangor. Suatu forum yang mendorong proses perencanaan pembangunan yang melibatkan masyarakat secara lebih luas di Kabupaten Sumedang. Aku ingat dulu dalam beberapa kuliah, beliau sempat bercerita tentang forum ini.

Yap, ini juga sepakat tanpa reserve. Aku bekerja di pemerintahan daerah. Ada beberapa perguruan tinggi di sini. Tapi sayang sekali, peran mereka masih belum tampak. Bisa ada dua penyebab, si pemerintah sendiri yang tidak memberi ruang. Atau sebab kedua, sang perguruan tinggi juga tidak cukup berperan. Istilah lama yang sering dipakai, mereka seperti menara gading. Betul mereka menyampaikan segudang ilmu kepada mahasiswanya. Namun perlu ditelusuri lebih jauh, sejauh mana peran mereka dalam menjawab permasalahan bangsa ini.

Bisa aku sampaikan satu contoh kecil. Keluargaku asalnya dari keluarga petani. Aku sering berbincang-bincang dengan mereka. Ada satu hal yang telah lama menggelitikku. Begini ucapan mereka, patani mah ti jaman kapungkur dugi ka ayeuna nya kieu kieu we hirupna, teu jadi langkung sejahtera. Kaum petani dari jaman dulu ya begini-begini aja, kesejahteraannya tidak pernah meningkat.

Nah, di manakah peran perguruan tinggi selama puluhan tahun ini? Jika kesejahteraan petani tidak menjadi meningkat. Padahal katanya negeri kita ini akarnya adalah negeri agraris. Sedih dan miris rasanya.

Kata-kata lain yang menarik juga adalah: mengajar itu bukan menjelaskan pengetahuan yang terdapat pada buku teks kepada mahasiswa, melainkan lebih didasarkan atas kekayaan pengalaman riset dan pengabdian masyarakat bahkan pengalaman hidup sang dosen.
Teori-teori yang diajarkan tidak berasa di langit abstrak, tetapi nyata berpijak pada bumi masalah Nusantara. Ini ditulis di bagian akhir profil beliau.

----

Begitu ketemu momen yang tepat, profil dosenku ini akan aku ceritakan pada anak-anak. Bahwa sekolah tinggi itu tidak cukup untuk mendapat gelar dan kemudian bekerja. Ada banyak hal yang jauh jauh lebih penting. Salah satunya bagaimana kita berbagi dan bagaimana kita membawa manfaat bagi masyarakat.

*buku yang recommended

*doakan bisa bersambung tulisan tentang profil alumni 86 lainnya

Minggu, 25 September 2016

ULANGAN BERSAMA ORTU (TRY OUT WITH PARENTS)



Sore itu, sampai di rumah, Ilman anakku mengacungkan surat. “Bu, ada surat.. “
Surat dari sekolah itu tentang kegiatan Try Out (TO) With Parent di hari Sabtu tanggal 24 September, lengkap dengan susunan acara. TO untuk tiga pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Ternyata ada satu poin penting: kehadiran salah satu orangtua atau pendamping jadi prasyarat.  Hhmm ini menarik. Sip, Sabtu ini berarti mesti ke sekolah temani dia.

Sorenya, di grup WhatsApp orangtua, mulai seliweran obrolan tentang TO itu. Diawali dari info kumpulan soal, lalu beberapa ingin punya kopinya. Giliran bahas ortu kudu belajar juga, aku iseng tulis seakan-akan aku sudah baca buku pelajaran Ilman. Lucunya ada yang percaya haha.. colek sobat solcan, maaf saudarakuuu....

Makin lama, obrolan di grup makin seru... Dari yang keder mesti ikut belajar, saling tuduh antara ibu dan ayah tentang siapa yang harus temani si anak, sampai ada yang bekali buku-buku pelajaran buat dibaca ayahnya di kantor.. Hahaha...

Aku diskusi sebentar dengan Ilman. Dan kesepakatannya adalah Ilman mau mandiri dulu kerjakan soal sendiri. Kalau ada yang kurang paham atau bingung, baru aku boleh bantu. Oke, nak. Siap. Jadi tugas utama ibu adalah jadi suporter.


Tibalah hari H.

Dari pagi, Ilman ribut bilang, ibu ga boleh telat. Tau aja dia, ibunya suka ngaret. Eh.. ups... hihi..
Dari rumah jam 07.08, rada ngebut, dan sampai di sekolah jam 07.17. Telat dua menit. Masuk gerbang sekolah, dalam hati aku bingung, kok sepi yaa. Ini pada telat atau pada rajin ya? Langsung naik ke lantai 2. Wah, ternyata sudah pada duduk rapi di kelas yang sudah dibagi, dan betul didampingi ayah, ibu atau kakak.

Setelah duduk di bangku, lah kok aku jadi deg-degan gini yaa.... dan ternyata beberapa mama yang sudah aku kenal bilang hal sama: Kenapa kita yang jadi stress gini yaa? hahaha..

Soal pun dibagikan. Ustadz pengawas kelas membacakan tata tertib. Setelah berdoa, aku tos-tosan dulu sama Ilman. Untuk sesi pertama, pelajaran Bahasa Indonesia dengan waktu 75 menit. Sambil Ilman kerjakan, aku ikut baca soal-soalnya dan coba jawab dalam hati.

Sepuluh menit pertama masih tenang. Sesudahnya, mulai terdengar suara-suara pelan diskusi anak dan orangtuanya. Ilman bertanya beberapa soal padaku, lalu kami diskusi. Aku berusaha tidak langsung arahkan jawaban yang menurutku betul. Pilihan jawaban tetap dia yang tentukan.

Sebelum satu jam, ada satu mama yang acungkan tangan: Ustadz, boleh dikumpulkan? Ini sudah selesai. Waahh langsung terdengar seruan heran dan tawa mulai keder. Lucuu... haha.. Ustadz bilang yang sudah selesai disarankan untuk diperiksa lagi, kalau perlu sampai dua-tiga kali.

Setelah sesi pertama, ada istirahat limabelas menit. Tahukah Anda, anak-anak ngapain waktu break itu? Anak-anak laki langsung meluncur turun berlari ke lapangan tengah daaan..... bermain bola.. hahaha.. EGP deh dengan TO. Sementara aku perhatikan, tidak ada satupun anak perempuan yang keluar kelas. Ada dua kemungkinan: mereka tertib dan rajin pisan atau sibuk murak bekel mama2nya yang jago bikin kue hehe...


Tibalah sesi kedua yaituuu Matematika. Pelajaran yang sering ditakuti anak-anak dan bikin stress. Ilman coba kerjakan sendiri lagi, tapi aku coba juga lihat soalnya, mungkin aku bisa. Gayanya, ketika ustadz tawarkan tambahan kertas kotretan, langsung aku ikut mengacung haha... siga nu enya we!!

Sesi ini seru pisan buat kami berdua. Kejar-kejaran dengan waktu, ternyata 75 menit untuk 30 soal itu mepet juga. Beberapa soal kami berdebat sampai ngakak  berdua. Sesekali aku iseng lihat suasana kelas. Satu dua anak ternyata juga terlibat debat dengan mama atau papanya. Ada satu ayah yang sibuk ngotret dengan serius. Serruuuu!!!

Tak terasa 75 menit berlalu,bel pun berbunyi tanda masuk sesi ketiga untuk mapel IPA. Aku bilang, kita istirahat dulu lima menit ya. Iseng aku foto candid beberapa aksi anak-ortu.



Ternyata oh ternyata, efek otak ngebul akibat MTK ada dampaknya juga. Saat mengerjakan IPA, Ilman perlu beberapa waktu untuk kembali fokus. Belum lagi waktu yang hanya 45 menit untuk 30 soal. O oww... Beberapa soal, Ilman tidak yakin dengan jawabannya karena belum dapat materinya. Dan aku pun harus mengingat-ingat untuk coba bantu. Sekian puluh tahun lalu boo... hehe.. Di sesi ini, Ilman sedikit protes karena beberapa soal aku langsung kasih tunjuk jawaban yang betul menurutku, yang belum tentu juga betul. Hehe maap maap nak, tidak sesuai kesepakatan awal.

Tepat pukul 11, bel kembali berbunyi. Selesaiah acara Ulangan Bersama Ortu. Alhamdulillaah..


Kesanku buat kegiatan ini positif.

Pertama, kita jadi lebih tenggangrasa pada anak, bagaimana mereka berjuang mencoba kerjakan soal, kadang kurang teliti hingga menjawab salah, kadang konsentrasi terpecah, kadang lupa padahal sudah diajarkan.

Kedua, menurutku sekolah berusaha memberi image kepada anak bahwa TO itu ga seseram yang dibayangkan. Diharapkan anak berusaha maksimal tanpa dibayangi ketakutan atau rasa stress.

Ketiga, bagaimana serunya ortu kerjasama dengan anak. Beberapa anak bahkan ditemani lengkap mama papanya. Kadang terjadi perdebatan atau protes yang berakibat anak ngambek atau manyun, kadang juga terjadi hal-hal lucu.

Jadi kesimpulannya, it is a recomended activity yang bisa dicontoh sekolah lain.

Semoga untuk TO selanjutnya dan Ujian Akhir, anak-anak siap lahir bathin dan lebih penting lagi, tidak sampai alami stress. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.


Jumat, 23 September 2016

PENYERTA JABATAN

Jabatan sering dipandang sebagai sesuatu yang didambakan, diharapkan, diupayakan, diimpikan atau bahkan dikejar dan diperebutkan.
Mengapa? Bisa jadi karena manusia perlu menunjukkan eksistensi dan aktualisasi dirinya. Mungkin pula karena di situ terdapat ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi dan kekuasaan.
Sehingga saat ini banyak sekali orang yang meminta kepemimpinan dan jabatan, padahal belum tentu orang tersebut mempunyai kapasitas, kompetensi, atau kapabilitas untuk menjalankannya.
Sebagian dari kita masih beranggapan bahwa jabatan identik dengan anugerah. Ketika memperoleh jabatan, maka patut dirayakan. Padahal arti jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (http://kbbi.web.id). Pada jabatan melekat tugas dan pekerjaan. Jadi bukan untuk dirayakan tapi mestinya untuk direnungkan.
Sejatinya jabatan bukan tujuan, melainkan hanya sarana, sarana untuk memperbaiki sesuatu, dengan tujuan akhir kemaslahatan umat. Sebab itu, barang siapa yang telah mendapatkan sarana tersebut namun tidak memanfaatkannya dengan baik, maka alangkah sayangnya. Sesungguhnya, ketika seseorang menjabat, maka di situlah kesempatan baik untuk melakukan perubahan menuju kebaikan. Sekecil apapun perbaikan itu, niscaya akan ada manfaatnya kelak.
Dalam Islam, kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Namun sering kita dapati, pandangan orang bahwa jabatan itu kekuatan namun lupa bahwa itu sekaligus adalah amanah.
Secara bahasa, amanah bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan). Amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya.

Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Khianat dalam memenuhi hak-hak bawahan atau orang yang dipimpinnya, khianat dalam menjalankan kewajibannya.

Jabatan juga menuntut kekuatan iman. Islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.
Meminta-minta jabatan baik di pemerintahan maupun organisasi tidak diperbolehkan, apalagi ketika masih ada orang lain yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas.
 “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. Muslim).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzarradhiallahu ‘anhu adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472)

Kekuatan ini pun amat berhubungan dengan kemampuan untuk amar makruf nahyi munkar.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Hadits ini mencakup tingkatan-tingkatan mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barang siapa yang mampu untuk merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh cara itu. Hal ini dilakukan oleh penguasa dan para petugas yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran’ di sini bisa dimaknai ‘melihat dengan mata dan yang serupa dengannya’ atau melihat dalam artian mengetahui informasinya.
Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa salah satu tugas dan tanggungjawab pemimpin atau pengemban jabatan adalah beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah umatnya dari kemungkaran.
Dalam Islam, kualitas iman adalah kriteria pertama dan utama. Kekuatan ilmu dan pengetahuan adalah kriteris selanjutnya. Namun sayangnya, kini pemahaman sebagian masyarakat, jabatan itu berasosiasi dengan kekuatan materi dan status sosial. 
“Sesungguhnya Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)

Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya.

Di samping itu, wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.


Di sisi lain, jabatan yang kita inginkan atau perebutkan belum tentu membawa kebaikan. Padahal belum tentu, apa yang ia kejar atau ambisikan itu baik untuk dia. Sebagaimana  Allah Ta’ala telah berfirman,

 “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)

Referensi:
http://www.kompasiana.com/www.klikqr.com/islam-jabatan-dan-kekuasaan_552aec81f17e61c353d623ce

-----
Refleksi diri di tengah hingar bingar pergantian jabatan yang ramai semua orang (nampaknya kecuali aku) perbincangkan.

Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala.  


Minggu, 18 September 2016

YUDI DAN MUHLIS




Merasa keren karena berhasil naik kuda nun di Bromo sana. Yap, itulah yang kemarin aku rasakan. Walaupun dengan perut mules, tangan keringetan, plus tuur nyorodcod.

Ya eya lah. Terakhir naik kuda di Ganesha jaman baheula waktu kecil, itupun tandem sama Apa. Dan yang dinaiki juga kuda poni.

Lah ini, kuda beneran, jangkung badag, make sadel teuas. Di lokasi kayak gurun pasir sambil naik turun di jalan kecil nanjak menuju kawah.

Sekali lagi, aku merasa keren.

----

Namun, dalam perjalanan pulang dari Malang, aku merenung. 

Lokasi wisata yang aduhai itu rasa-rasanya tidak membawa dampak positif buat penduduknya. Dengan catatan perlu riset tambahan buat membuktikan hipotesis awal ini.

Selagi tersengal-sengal berusaha keras duduk tegak dan pegang tali kuat-kuat, aku coba ngobrol dengan sang pawang kuda. Ia bernama Yudi. Penduduk asli di situ, di perkampungan di atas lembah menuju kawah. Di seberang gunung.

Semula aku kira, di sekitar ada peternakan kuda. Ternyata tidak. Yudi bercerita bahwa kuda itu dahulu milik juragannya, dibeli seharga 15 juta ketika sudah cukup umur untuk dijadikan kuda tunggangan. Diimpor dari Pandaan. Dari penghasilan sehari-hari selama sekitar dua tahun, kuda itu berhasil dia beli dan sekarang jadi miliknya.

Tarif sekali menunggang kuda adalah 100 ribu. Dibandingkan sekali naik kuda di Jl. Ganesha, wooww mahal bingit!!!. Taapiii daya upaya yang perlu dia keluarkan sebanding lhoo atau bahkan tarif itu kurang mahal?... Dan rupanya tidak setiap hari ia dapat penumpang. 

Aku tidak sempat menghitung ada berapa kuda di situ. Namun ada banyak, dan setiap ada Landy berhenti, maka mereka rebutan tawarkan jasa. Dalam hati sempat berfikir, kenapa ga dibuat semacam sistem antrian ya. Rasanya lebih adil dan semua pasti dapat penumpang sesuai gilirannya.

Kita anggap dalam seminggu, Yudi dapat lima penumpang. Berarti dalam sebulan, rata-rata penghasilannya 2 juta rupiah. Mungkin lumayan ya untuk ukuran di pedesaan.

Tapi mari kita lihat lebih jauh lagi.

Lokasi permukiman Yudi asli jauh dari mana-mana. Kemarin, aku dan rombongan dari Malang tempuh jarak 2 jam ketika berangkat dini hari dan 3 jam ketika pulang. Itu baru sampai semacam basecamp ketika kita berganti mobil Landy.

Dari basecamp, waktu tempuh sampai ke Lautan Pasir sekitar 1,5 jam. Dengan medan yang edun suredun ajib surajib buat saya mah.

Bisa dibayangkan pasti ada kendala untuk memenuhi kebutuhan pangan atau sandang. Dan itu akan berakibat biaya untuk mendapatkannya menjadi mahal. Belum lagi sarana air bersih yang pasti susah banget, dan lain-lain sarana lingkungan. Beruntung sekolah sudah ada sampai tingkat SMA. (Batinku, ya Allaah, semoga para gurunya mendapat ladang amal yang amat banyak, mengingat pengabdian mereka mengajar di pelosok seperti ini.)

----

Dalam ilmu perencanaan wilayah, lokasi wisata seperti ini sering digolongkan enclave. Ketika ada kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang nampaknya mendatangkan pendapatan yang cukup besar namun masyarakat sekitar yang seharusnya mendapat keuntungan paling besar, justru menjadi penonton yang cuma kecipratan sedikit.

Bromo sudah menjadi trending topic di mana-mana, skala nasional bahkan internasional. Kemarin, aku sempat mengobrol dengan salah seorang emak wisatawan, yang ternyata berasal dari Spanyol.

Tapi lihatlah. Penduduk sekitar “cuma” jadi pawang kuda, penjaga warung kopi, penjual kupluk dan sarung tangan, tukang sewa jaket, atau supir Landy (berani taruhan, Landy itu sebagian besar bukan punya dia). Dengan penghasilan yang bisa diperkirakan tidaklah besar.

Idealnya, penduduk sekitar bisa lebih diberdayakan dan dikuatkan.

Sekali lagi, ini hipotesis awalku, yang masih awam. Belum baca-baca literatur atau diskusi dengan teman yang lebih tahu informasi.

Tapi tetap, ini rasanya itu tidak adil.

-----

Kembali ke judul, ada yang tahu Muhlis itu nama apa atau siapa?






Kamis, 08 September 2016

Aku dan PPSP-ku

 Jika orang bertanya, di mana kamu sekolah ketika SD?
Aku pasti akan menjawab di SD PPSP, dengan amat bangga.

Apa itu PPSP? Pasti ga banyak yang tahu. Tapi sekolah ini keren, sekeren-kerennya.. Haha.. maap, narsisnya keluar nih.
------

Sekolah kami memang spesial. Namanya PPSP, singkatan dari Proyek Perintis Sekolah Pembangunan.. Ga ada sekolah lain di Bandung yang bernama sama, dijamin.
PPSP adalah sekolah dengan jenjang dari SD sampai SMA, semacam laboratorium percobaan kurikulum dari IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Ada beberapa sekolah PPSP di berbagai IKIP se-Indonesia. Contohnya Jakarta, yang kalau tidak salah lalu bertransformasi menjadi Sekolah Labschol.

Lokasi sekolah di dalam Kampus IKIP. Sekolah kami punya kurikulum sendiri dan tidak menginduk ke Dinas Pendidikan.

Ingin tahu hal-hal keren dari sekolah kami? Berikut aku tuliskan beberapa.. beberapa ya…belum semuanya… hahaha..

1.       Tingkatan.
Seragam kami putih abu-abu, dari SD sampai SMA. Hemat, ga perlu ganti-ganti selama tuh seragam masih muat dan bisa pake lungsuran kakaknya (sudah menganut prinsip reduksi sampah dari sumber hahaha). SD hanya sampai kelas 5, jadi ketika yang lain baru naik kelas  6, kami sudah masuk SMP.
Dari SD ke SMP dan seterusnya tidak ada tes, wuiihhh bahagianyaa tanpa stress siga jaman kiwari. Lulus SD lalu lanjut kelas 1 SMP disebut kelas 6 dan seterusnya, jadi kelas 3 SMA itu disebut kelas 11. Dan ternyata nama jenjang tersebut sekarang dipakai  untuk sebutan kelas SMP dan SMA yaa.. jadi bukan kelas 1 SMP, tapi jadi kelas 7 dan seterusnya.

2.       Sistem Modul.
Kami belajar tidak memakai buku paket, tapi dengan sistem modul. Dengan sistem ini, guru menerangkan materi, kemudian siswa dituntut mandiri. Kami baca modul kemudian kerjakan tes sendiri bahkan periksa tes sendiri. Ada satu lemari besar di kelas tempat modul dan lembaran tes disimpan. Kami boleh ambil sendiri. Terkadang kemudahan ini jadi jalan untuk ambil kunci tes dan menyontek.. haha.. engga deeng... engga jarang maksudnya. Yang selesai satu modul lebih cepat daripada yang lain, boleh ambil lembar pengayaan. Semacam materi tambahan sambil menunggu teman-teman lain tuntas pada modul tersebut.

3.       Akselerasi
Terkait dengan sistem modul di atas, ada program percepatan atau sekarang dinamai akselerasi. Selain hemat 1 tahun di SD, juga ada program 2,5 tahun untuk SMP dan SMA. Pelajaran untuk 3 tahun dipadatkan menjadi 2,5 tahun (hemat 1 semester). Jadi jenjang SMP dan SMA bisa ditempuh dalam lima tahun. Satu kakakku dapat keuntungan ini, mestinya lulus tahun 1986 dari SMA, dia jadi alumni pada tahun 1985. Beberapa teman seangkatan juga dapat keuntungan serupa, hemat satu tahun. Mungkin juga program ini yang jadi cikal bakal program akselerasi.

4.       Kualitas Guru
Jaman dulu, ada guru atau wali kelas yang mengajar berbagai mata pelajaran. Sedangkan di PPSP, guru mengajar per bidang studi, jadi bukan guru kelas. Kami sudah dapat pelajaran Bahasa Inggris sejak kelas 4 SD, weitsss.. mana ada jaman itu anak SD bisa cas cis cus in English. Ibu gurunya cantik dan sabar banget, namanya ibu Lies, yang bikin aku jatuh cinta sama pelajaran ini. Akibatnya? Kursus di LIA LBIB dijabanin dari SMP sampai SMA, dari level Basic sampai Post-advanced. Hasilnya? TOEFL di atas rata-rata laah… *agul saeutik hahaha…

5.       Mapel Pilihan
Ada pilihan pelajaran ketrampilan selain PKK (mainstream kala itu). Bagiku itu asyik, karena aku ga doyan dan ga bisa jahit menjahit atau masak memasak. Aku pilih pelajaran Pertanian di kelas 7 dan Peternakan di kelas 8… Hahaha… jadi macul-macul menanam sosin terus panen dan piara burung puyuh yang mesti ditimbang tiap hari lalu dibuat laporannya.. Ahhh seruuuu…. Hal-hal seperti ini yang kini mungkin diadopsi di beberapa sekolah alam yang banyak didirikan di berbagai kota.

6.       Sekolah Dekat Rumah
Sebagian besar dari kami tinggal bertetangga di kampus yang sama. Usia rata-rata para dosen yang tinggal di kampus ini hampir sama, sehingga usia anak-anaknya pun hampir sama. Tidak heran, anak yang sulung di keluarga A, seangkatan dengan si anak sulung di keluarga B, dan seterusnya.  Berangkat sekolah, kami cukup berjalan kaki atau ada beberapa yang bersepeda. Sekarang ternyata sejalan sama pak RK yang mencanangkan sekolah dekat rumah sehingga si anak cukup pergi sekolah bersepeda ya.

Aaaahhhh... kesimpulannya KEREN lah pokoknyaaa.... setuju kaan setujuuu?...
So lucky us to have a chance going to that cool school, right Poreper?

*Poreper itu plesetan dari forever, berasal dari forever friend. Buat kami, bersekolah dasar di tempat yang sama bukan lagi pertemanan, tapi sudah persaudaraan…… *

-----